Selasa, 21 Desember 2010

Kemoreseptor

Chemoreseptor merupakan alat indera yang bereaksi terhadap zat-zat kimia, antara lain pakan. Chemoreseptor digunakan untuk mengenali stimulus yang berasal dari sumber yang jauh dari tubuh, alat itu berupa rambut-rambut pada antenulla dengan nilai ambang yang sangat rendah. Chemoreseptor menurut Gordon (1982), berfungsi untuk mendeteksi dan mengetahui adanya makanan, dan tempat hidupnya, mengenal satu sama lain dengan menunjukkan tingkah laku masak kelamin (mating), dan mendeteksi adanya musuh. Hanya dengan stimulus berupa gas berkonsentrasi rendah, chemoreseptor telah dapat mengenali (Ville et al., 1988).
Hasil percobaan yang dilakukan juga menyatakan bahwa udang melakukan gerakan flicking, wipping, withdraw, rotasi dan mendekati pakan. Gerakan flicking, yaitu gerakan dimana udang melakukan gerakan pelucutan antennula ke depan, dan gerakan tersebut berfungsi dalam mencari atau mendekati pakan. Gerakan wipping, yaitu gerakan pembersihan antennula, dimana gerakan tersebut berfungsi dalam pembersihan setelah mendapatkan makanan atau setelah memakan pakan. Gerakan withdraw, yaitu gerakan dimana udang melakukan gerakan pelucutan ke belakang, dimana gerakan tersebut berfungsi untuk melawan atau menghindari musuh yang akan mendekatinya, sedangkan gerakan rotation, yaitu gerakan pemutaran antennula yang berfungsi untuk mencari sensor kimia. Frekuensi flicking, dipengaruhi oleh keadaan fisiologis udang seperti parameter sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, dan rangsangan mekanik (Gordon et al.,1982).
Udang dapat melakukan gerakan antenulla yang meliputi gerakan flicking (pelecutan ke depan), wipping (pembersihan), withdraw (pelecutan ke belakang) dan rotation (memutar). Menurut Pearson (1983), frekuensi flicking/pelecutan dipengaruhi oleh oleh keadaan fisiologis udang seperti parameter sensori berupa kimia, cahaya, osmotik dan tekanan mekanik. Rotasi antena berupa pergerakan dari bagian proksimal ke bagian medial. Biasanya antenulla mengarah pada sisi sama. Pembersihan antenulla berfungsi sebagai chemoreseptor untuk mendeteksi senyawa kimia. Udang menggunakan antenullanya untuk mendeteksi zat kimia dan makanan, kemoreseptor sangat dibutuhkan bagi hewan akuatik, misalnya antenulla pada udang yang paling tidak bisa memabntu proses geraknya (Goldman, 2002).







Gambar Morfologi Udang
Keterangan:

1. Antennula
2. Rostrum
3. Mata
4. Thoraks
5. Abdomen
6. Scapocerix
7. Antena
8. Periopod
9. Pleopod
10. Uropod
11. Telson
Mekanisme pakan sampai kepada organ chemoreseptor udang adalah makanan yang masuk kedalam akuarium akan berdifusi kedalam air dalam bentuk ion-ion. Ion-ion terbentuk karena penguraian dari pelet setelah masuk ke dalam air. Ion-ion itu diterima antennula yang kemudian dirubah menjadi stimulus yang akan ditransfer ke otak oleh neuron efferent dan otak akan menanggapinya melalui kerja dari efferent. Organ reseptor kemudian akan melakukan gerakan yang sesuai dengan informasi (Storer, 1957). Faktor yang mempengaruhi udang mendekati pakan antara lain berupa sensori berupa kimia, cahaya, osmotik, rangsangan mekanik dan adanya chemoatractant yang dikeluarkan oleh pelet/pakan. Chemostimultan yang dimasukkan pada lingkungan yang terkontrol untuk beberapa spesies Crustaceae, mampu memacu perilaku makan, dan dalam kondisi alami, udang menunjukan respon rangsangan pada campuran kimia yang sangat sinergis (Harpaz,1990).
Menurut Saktiyono (1989), menyatakan bahwa pakan yang diberikan berpengaruh terhadap cepat lambatnya respon. Semakin banyak pakan semakin cepat stimulus tersebut direspon oleh udang. Antennula udang sangat sensitif terhadap aroma dari molekul kimia yang dikeluarkan oleh pakan. Rangsang yang berupa aroma pakan diterima antennula yang didalamnya terdapat rambut-rambut sensori yang berfungsi sebagai reseptor. Reseptor akan menerima dan menghantarkan rangsangan melalui urat saraf dan tanggapan akan diberikan oleh alat tubuh yang disebut efektor.
Efektor akan menimbulkan efek berupa aktivitas dalam menemukan pakan. Udang melakukan pelucutan antennula secara terus menerus. Frekuensi dipengaruhi oleh keadaan fisiologis seperti parameter sensorik berupa kimia, cahaya, osmotik dan rangsangan mekanik. Rotasi antennula berupa pergerakan dari bagian proksimal kebagian medial dan pembersihan diri yang terjadi jika ada rangsang yang ditimbulkan oleh aesthecs (Storer, 1957).
Menurut Roger (1978), menyatakan bahwa terdapat selang waktu udang dalam melakukan pelucutan antennula. Selang waktu yang terdapat pada setiap gerakan yang terjadi digunakan untuk melakukan gerakan pelucutan antennula yang lain. Aktifitas dari pergerakan ini disebut aktivitas asimetris dan gerakan dari antennula udang tidak selalu berurutan dari flicking sampaii mendekati pakan.
Menurut Harpaz (1990), sel chemoreseptor pertama terdapat pada udang air tawar. Periopod pertama kali diselidiki menggunakan unit tunggal elektrofisiologi ekstaseluler. Sel yang merespon adanya sari-sari makanan yang mengandung air seperti udang, ikan mullet dan semacam ikan air tawar yang mengandung suatu campuran garam, amino cuka (L-arginin HCL, taurin) dan ammonium clorida. Perbedaan antara antena dan antennula terletak pada fungsi dan strukturnya dimana antennula berfungsi sebagai organ chemoreseptor dan ukurannya pendek, sedangkan antena sebagai organ pembau serta lebih panjang. Antennula mempunyai beberapa fungsi yaitu alat untuk mencari dan menemukan pakan, mengetahui posisi tubuh, sebagai indera penciuman dan sebagai media komunikasi antar hewan yaitu menangkap stimulasi kimia beberapa kheromon dari lawan jenis (Roger, 1978).
Urutan makan pada udang menurut Harpaz (1990), adalah sebagai berikut:
1. Gerak melucutkan antennula dengan cepat dan kasar;
2. Gerak membersihkan antennula dengan cara mengarahkan antennula ke ventral diantara maxilliped dan terus bergerak dari pangkal antennula;
3. Antennula dilucutkan dengan cara menarik kebelakang dan menyentakkannya ke depan;
4. Antena dan antennula mengorientasikan langsung kesasaran;
5. Chephalotorak dengan periopoda diangkat setinggi-tingginya;
6. Gerakan menyapu dan menyusup antena, kadang diikuti gerakan melingkar dari antennula;
7. Periopoda pertama mencari substrat dengan chela dan membawanya kedalam mulut.
Perlakuan pada udang antara lain ablasi antennula, ablasi mata, ablasi total (mata dan antennula) dan normal sebagai kontrol. Pengamatan dilakukan 2x15 menit di ruang gelap, hal ini dilakukan karena udang bersifat (nocturnal) atau aktif begerak dalam keadaan minim cahaya/malam hari (nocturnal). Hasil percobaan yang dilakukan, pada udang normal (kontrol) gerakan flicking, wipping, withdraw, rotasi dan mendekati pakan mendominasi gerak antenulla, hal ini terjadi pada 15 menit pertama dan kedua. Perlakuan ablasi total dan ablasi antenulla, tidak terjadi gerakan karena organ yang berfungsi sebagai reseptor sudah hilang (Radiopoetro,1977). Berdasarkan pengamatan kami, perlakuan ablasi mata dan ablasi antennula tidak terjadi gerakan antennula karena antennula telah dipotong.


KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan data hasil percobaan dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Udang air tawar mempunyai organ chemoreseptor yaitu antenulla yang berfungsi untuk mendeteksi adanya pakan.
2. Udang dapat melakukan gerakan antennula wipping, flicking, withdraw dan rotation.

B. Saran
Saat mengablasi udang harus segerah dimasukan ke dalam akuarium sebab bila terlalu lama udang akan stres dan mati. Saat mengamati harus benar-benar jeli karena cahaya terlihat hanya dari senter saja. Sebaiknya sebelum praktikum harus mengetahui gerakan-gerakan antenula udang.

PAKLOBUTRAZOL Terhadap Pertumbuhan Tanaman Zinnia/Tagetes/Impatiens.

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II
Acara Praktikum : Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Zinnia/Tagetes/Impatiens.
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh zat penghambat tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman zinnia/tagetes/impatiens.

Hasil dan Pembahasan
A. Hasil
Tabel Pengamatan Zat penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Pada Diameter Batang
Perlakuan D.Awal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
100 ppm 0,37 0,37 0,40 0,43 0,47 0,49 0,49 0,52 0,54 0,55 0,57 0,59 0,62 0,70 0,75
50 ppm 0,25 0,25 0,28 0,37 0,40 0,43 0,46 0,48 0,51 0,53 0,56 0,58 0,60 0,63 0,65
25 ppm 0,32 0,32 0,34 0,36 0,37 0,39 0,41 0,42 0,45 0,47 0,49 0,53 0,55 0,57 0,61
0 ppm 0,30 0,30 0,34 0,37 0,38 0,40 0,42 0,44 0,47 0,50 0,52 0,53 0,55 0,55 0,06

Tabel Pengamatan Zat penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Pada Tinggi Tanaman
Perlakuan T.Awal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
100 ppm 7,3 7,3 12,4 15,5 17,1 19,2 22,1 24,3 26,8 29,9 33,7 37,9 42,8 44,6 48,5
50 ppm 7,5 7,5 9,9 12,6 15,9 19,0 23,0 25,9 28,4 29,9 33,4 37,8 42,1 44,0 45,5
25 ppm 7,0 7,0 9,9 12,2 14,8 17,4 19,8 22,6 25,8 28,2 32,5 35,7 38,0 40,2 41,9
0 ppm 7,2 7,2 8,9 10,5 13,5 16,8 19,8 22,6 26,8 29,9 34,3 37,9 38,9 39,5 40,0

B. Pembahasan
Hasil pengamatan perpanjangan batang tertinggi terjadi pada konsentrasi 0 ppm yaitu sebagai kontrol dan belum terpengaruh terhadap zat penghambat tumbuh paklobutrazol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sach dalam Salisbury (1995) yang menyebutkan bahwa pada batang yang sedang tumbuh, daerah pembelahan sel letaknya lebih jauh dari ujung dibandingkan dengan daerah pembelahan pada akar. Pembelahan dan pemanjangan sel pada jenis gimnosperma dan dikotil terletak beberapa sentimeter di bawah ujung. Pertumbuhan tertinggi pada batang terdapat pada pucuk bagian yang paling rendah (basal), hal ini dikarenakan pada bagian tersebut mempunyai kandungan auksin yang paling tinggi sehingga dapat memacu pertumbuhan selnya (Abidin, 1985).
Zat penghambat tumbuh paklobutrazol merupakan senyawa kimia bila diberikan ke suatu tanaman akan memberikan efek penghambat pertumbuhan tunas. Penggunaan zat pengatur tumbuh ini bila diberikan tidak sesuai dengan aturan akan membuat gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam tingkat lebih lanjut. Cara kerja zat pengatur tumbuh ini adalah dengan menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman (pertumbuhan tunas dan daun) (Anonim, 2010).
Retardan didefinisikan sebagai suatu senyawa organic yang menghambat perpanjangan batang, meningkatkan warna hijau daun, dan secara tidak langsung mempengaruhi pembungaan tanpa menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Fungsi paklobutrazol atau zat penghambatan tanaman di dalam fisiologis tanaman antara lain:
1. Dalam jangka waktu tertentu meningkatkan rasio karbon-nitrogen (C/N), artinya dengan meningkatnya kadar karbon berpotensi untuk merangsang keluarnya tunas bunga.
2. Menekan kadar hormon tanaman seperti Gibberelin, dimana bila kadar Gibberelin menurun maka dapat merangsang keluarnya tunas bunga.
3. Mengontrol apikal dominan
4. Menekan pertumbuhan tanaman/vigor tanaman
5. Meningkatkan produksi
Paklobutrazol atau betha-[(chlorophenyl) methyl -alpha- (1,1-dimethyl)-H-1,2,4 triazole - 1- ethanoll)], merupakan salah satu zat penghambat pertumbuhan yang berfungsi menghambat pertumbuhan bagian vegetatif tanaman menjadi mengecil dan merangsang pertumbuhan bunga yang digunakan secara teratur pada berbagai produksi komersial (Wilkinson & Richard 1987). Pemberian paklobutrazol nyata menghambat pertumbuhan kultur pada umur 5 bulan. Konsentrasi paklobutrazol 5 mg/l menurunkan jumlah tunas yang terbentuk, tunas lebih pendek, dan jumlah daun lebih sedikit. Penurunan jumlah tunas yang terbentuk disebabkan oleh penambahan paklobutrazol karena zat tersebut bersifat menurunkan aktivitas metabolisme jaringan sehingga menghambat proses pertumbuhan vegetativ (Purnomo dan Prahadini 1991 dalam Syahid 2007). Pemberian paklobutrazol juga menyebabkan warna daun dan batang tanaman menjadi lebih hijau tua. Hal ini karena paklobutrazol meningkatkan kandungan butir-butir hijau daun sehingga proses fotosintesis planlet menjadi lebih baik (Mattjik et al. 1994 dalam Syahid 2007).
Pemberian paklobutrazol efektif diberikan melalui penyiraman di tanah. Zat tersebut ditranslokasikan melalui jaringan xylem dan mencapai tunas pucuk. System vaskular sebelah titik tumbuh berfungsi sebagai penyimpan zat pengatur tumbuh dan menghambat biosintesa asam giberelat sehingga mengakibatkan pertumbuhan atau tunas berhenti. Hal ini akan meningkatkan: (1) kandungan hormone sitokinin, (2) kandungan klorofil (3) kandungan karbohidrat dalam jaringan tanaman dan (4) meningkatkan penyerapan mineral (Sitepu, 2007).
Menurut Meyer dan Anderson (1952), pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:
1. Temperatur, suhu tanah dan udara sekitar mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan. Suhu merupakan faktor pembatas untuk kelangsungan hidup tanaman, efek morfogenik dan termoperiodisitas.
2. Air, yang menyusun sebagian besar tubuh tumbuhan. Untuk berlangsungnya metabolisme, air dibutuhkan dalam jumlah yang cukup. Defisiensi air merugikan tumbuhan dalam pembelahan dan pembesaran sel.
3. Konsentrasi cairan tanah, tekanan osmotik cairan tanah dapat berakibat pada penurunan kecepatan absorbsi air. Untuk menaikkan tekanan osmotik dapat menggunakan garam NaCl, Na2SO4 atau CaCl2.
4. Konsentrasi gas dalam atmosfer tanah, aerasi dalam tanah yang baik mendukung pertukaran gas yang maksimal.
5. Elemen mineral, mineral-mineral tanah diperlukan tumbuhan untuk mendukung pertumbuhan dan metabolisme tumbuhan.
6. Nitrogen, jika suplai nitrogen untuk mengaktifkan pertumbuhan vegetatif melimpah terhadap suplai KH, sejumlah besar protoplasma akar dibentuk menjadi sejumlah material penyusun dinding sel.
7. Energi radiasi

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Semakin tinggi konsentrasi paklobutrazol maka akan semakin menghambat pertumbuhan batang tanaman.

Daftar Referensi
Anonim, 2010. Paklobutrazol: Kegunaan dan Rambu-rambu Pemakaian, http://anekaplanta.wordpress.com/2010/02/03/paklobutrazol-kegunaan-dan-rambu-rambu-pemakaian/diakses pada tanggal 10 April 2010.
Meyer, B. S and D. B Anderson. 1952. Plant Physiology. Mc Milan Company inc, New Jersey.
Purnomo, S dan P.E.R. Prahardini, 1989. Perangsangan Pembungaan dengan Paklobutrazol dan Pengaruhnya terhadap Hasil Buah Mangga ( Mangifera indica,L) Hortikultura 7 : 16-24
Salisbury, F. B. dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3. ITB, Bandung.
Surachman, D. 2009. Penggunaan Beberapa Taraf Konsentrasi Paklobutrazol dalam Media Konservasi Keladi Tikus (Typonium flagelliforme Lodd.) In Vitro. Buletin Teknik Pertanian, 14(1) : 31-33.
Wilkinson, R.I . and D. Richards. 1987. Effect of paclobutrazol on growth and flowering of Bouvardia humbolddtii. HortScience 22 (3) : 444 – 445.

Peranan Zat Pengatur Tubuh Sebagai Herbisida

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II
Acara Praktikum : Peranan Zat Pengatur Tubuh Sebagai Herbisida
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi 2,4-D sebagai herbisida.


B. Pembahasan
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma. Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis atau dua jenis tanaman pertanian. Namun demikian tumbuhan lain juga dapat tumbuh di lahan tersebut. Karena kompetisi dalam mendapatkan hara di tanah, perolehan cahaya matahari, dan atau keluarnya substansi alelopati, tumbuhan lain ini tidak diinginkan keberadaannya. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian tumbuhan pengganggu tanaman (Hasyim, 2010).
Auksin sintetis, seperti halnya 2,4-dinitrofenol (2,4-D), digunakan secara meluas sebagai herbisida tumbuhan. Monocotyledoneae, misalnya jagung dan rumput lainnya dapat dengan cepat menginaktifkan auksin sintetik ini, tetapi pada Dicotyledoneae tidak terjadi, bahkan tanamannya mati karena terlalu banyak dosis hormonalnya. Menyemprot beberapa tumbuhan serialia ataupun padang rumput dengan 2,4-D, akan mengeliminir gulma berdaun lebar seperti dandelion (Hasyim, 2010). Efektivitas pemberian herbisida antara lain ditentukan oleh dosis herbisida. Dosis herbisida yang tepat akan dapat mematikan gulma sasaran, tetapi jika dosis herbisida terlalu tinggi maka dapat merusak bahkan mematikan tanaman yang dibudidayakan (Nurjannah, 2003).
Herbisida dibagi menjadi dua yaitu herbisida kontak dengan herbisida sistemik. Herbisida kontak adalah herbisida yang langsung mematikan jaringan-jaringan atau bagian gulma yang terkena larutan herbisida ini, terutama bagian gulma yang berwarna hijau. Herbisida jenis ini bereaksi sangat cepat dan efektif jika digunakan untuk memberantas gulma yang masih hijau, serta gulma yang masih memiliki sistem perakaran tidak meluas. Jarinngan tumbuhan, bahan aktif herbisida kontak hampir tidak ada yang ditranslokasikan. Jika ada, bahan tersebut ditranslokasikan melalui phloem. Karena hanya mematikan bagian gulma yang terkena, pertumbuhan gulma dapat terjadi sangat cepat. Dengan demikian, rotasi pengendalian menjadi singkat. Herbisida kontak memerlukan dosis dan air pelarut yang lebih besar agar bahan aktifnya merata ke seluruh permukaan gulma dan diperoleh efek pengendalian aktifnya yang lebih baik. Herbisida kontak juga yang bekerja dengan cara menghasilkan radikal hidrogen peroksida yang memecahkan membran sel dan merusak seluruh konfigurasi sel. Herbisida kontak hanya mematikan bagian tanaman hidup yang terkena larutan, jadi bagian tanaman dibawah tanah seperti akar atau akar rimpang tidak terpengaruhi, dan bagian tanaman didapat kembali dan roses kerja pada herbisida ini pun sangat cepat. Herbisida ini hanya mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja, terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis. Keistimewaannya, dapat membasmi gulma secara cepat, 2-3 jam setelah disemprot gulma sudah layu dan 2-3 hari kemudian mati. Sehingga bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya, gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian dan bila herbisida ini tidak menyentuh akar maka proses kerjanya tidak berpengaruh pada gulma. Contoh herbisida kontak adalah paraquat. Herbisida sistemik adalah herbisida yang cara kerjanya ditranslokasikan ke seluruh tubuh atau bagian jaringan gulma, mulai dari daun sampai keperakaran atau sebaliknya. Cara kerja herbisida ini membutuhkan waktu 1-2 hari untuk membunuh tanaman pengganggu tanaman budidaya (gulma) karena tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara menganggu proses fisiologi jaringan tersebut lalu dialirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Efek terjadinya hampir sama merata ke seluruh bagian gulma, mulai dari bagian daun sampai perakaran. Dengan demikian, proses pertumbuhan kembali juga terjadi sangat lambat sehingga rotasi pengendalian dapat lebih lama (panjang) (Hasyim, 2010).
Herbisida berbahan aktif 2,4 dimetilamina (2,4 D) merupakan jenis herbisida yang selektif untuk pertanaman padi, bersifat sistemik artinya dapat bergerak dari daun dan bersama proses metabolisme ikut kedalam jaringan tanaman sasaran (Anonim, 2005). Herbisida jenis ini mampu mengendalikan gulma berdaun lebar maupun teki tekian (cyperaceae), serta beberapa gulma berdaun sempit meski kadang cenderung kurang efektif. Penggunaan herbisida 2,4 D pada 2 minggu setelah tanam dan disusul dengan penyiangan secara manual sebanyak 2 kali pada padi gogorancah di Jeneponto telah berhasil menekan gulma (Napu dan Muhammad, 2006).
Tanggap gulma terhadap herbisida memang sangat tergantung pada jenis herbisidanya serta fase pertumbuhan gulma juga sangat berpengaruh. Meski secara teori herbisida jenis 2,4 D memang sangat toksis hanya pada gulma berdaun lebar dan jenis teki (Rukmana dan Sugandi, 1999), namun kenyataan menunjukkan bahwa dengan dosis yang tepat serta waktu aplikasi yang juga tepat dapat menekan pertumbuhan beberapa gulma berdaun sempit utamanya pada gulma sawah seperti E.crus-galii dan E.colonum, meski tidak secara tuntas namun mampu menekan pertumbuhan gulma (Kadir, 2007).
Efektvitas aplikasi herbisida padi jenis 2,4 D memang lebih baik pada awal pertumbuhan gulma sementara tanaman padi juga dalam pertumbuhan yang aktif. Karena bagaimanapun sesuai sifat dari herbisida jenis ini yaitu merupakan herbisida yang terbuat dari asam organic yang berasal dari ionisasi asam dan garam, Pertama-tama gugus ester dalam rantai carbon dihidrolisa menjadi asam dan garam baik dalam tumbuhan maupun dalam tanah kemudian mengalami ionisasi dan menjadi senyawa auksin yang dapat mempengaruhi metabolisme tumbuhan, sehingga salah satu masalah yang mungkin timbul adalah munculnya efek samping pada tanaman bukan sasaran (Anonim, 2005).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pemberian herbisida 2,4-D memiliki efek positif dalam memberantas gulma berdaun lebar.
2. Herbisida dengan dosis tertentu tidak hanya dapat membunuh gulma berdaun lebar tetapi juga dapat membunuh gulma berdaun sempit.

Daftar Referensi
Anonim .2005. Majalah Pertanian Abdi Tani, Volume 6 No.2/ Edisi XXIII April – Juni. PT TSP, Surabaya.

Hasyim, B. I. 2010. Artikel Jenis Herbisida. http://herbisida.com. Diakses april 2010.
Kadir, Muhammad. 2007. Efektivitas Berbagai Dosis dan Waktu Aplikasi Herbisida 2,4 Dimetilamina Terhadap Gulma Echinocloa colonum, Echinocloa cruss-galli, dan Cyperus iria pada Padi Sawah. Jurnal Agrisistem 3 (1).

Napu, MB. dan H. Muhammad, 2006. Pengkajian cara pengendalian gulma dalam budidaya padi gogorancah. Jurnal pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 9 (1): 29 – 36.

Rukmana, R. dan S. Saputra, 1999. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Kanisius, Yogyakarta.

Uswatun, Nurjannah. 2003. Pengaruh Dosis Herbisida Glifosat dan 2,4-D Terhadap Pergeseran Gulma dan Tanaman Kedelai Tanpa Olah Tanah. ISSN 1411-0067. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Vol 5. No.1.

dominansi apikal

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II
Acara Praktikum : Dominansi apikal
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh IAA terhadap pertumbuhan tunas lateral


Hasil dan Pembahasan :
A. Hasil
Tabel hasil pengamatan pertumbuhan tunas lateral
ZPT Konsentrasi (ppm) Jumlah biji yang berkecambah pada hari ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
IAA 0 - - - - - - - - - - - - - -
1 - - - - - - - - - - - - - -
1,5 - - - - - - - -      
2 - - - - - - - - - - - - - -
IBA 0 - - - - - - - - - -    
1 - - - - - - - - - - - -  
1,5 - - - - -         
2 - - - - - - - - - - - - - -

B. Pembahasan
Dominansi apikal merupakan suatu proses penghambatan pertumbuhan sepenuhnya atau hampir sepenuhnya pada tunas-tunas axillari, atau lateral dengan terdapatnya tunas apikal. Dominansi apikal terjadi dengan adanya penghambatan pertumbuhan sari satu pucuk dengan terdapatnya tunas dominan lainnya. Efek-efek bagian apikal dari pucuk terhadap orientasi dan perkembangan organ-organ lateral seperti misalnya cabang, daun, rhizoma, dan stolon (Wilkins, 1989)
Berdasarkan data yang diperoleh dari percobaan dominansi apikal dapat diketahui bahwa zat pengatur tumbuh (IAA dan IBA) dapat menghasilkan terjadinya tunas apikal. Data menunjukkan bahwa tanaman cabai yang diberi IBA lebih cepat terbentuk tunas lateral daripada tanaman cabai yang diberi perlakuan IAA. Konsentrasi IBA yang paling cepat untuk menumbuhkan tunas lateral adalah konsentrasi 1,5 ppm. IAA diidentifikasikan sebagai auksin yang aktif di dalam tumbuhan yang diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif. Sedangkan, IBA merupakan derivat dari IAA berupa auksin sintetis (Hoesen dan Priyono, 2000). Auksin berperan dalam proses pertumbuhan tanaman vaskuler. IBA yang dimasukkan ke dalam jaringan tanaman akan cepat diubah menjadi peptide-peptida dengan asam aspartat atau glutamate dan menjadi glukosil eter (Wilkins, 1989). Perlakuan kombinasi IAA dengan GA pada semua konsentrasi perlakuan, kemungkinan GA akan menghambat pembentukan enzim IAA oksidase, sehingga oksidasi IAA akan terhambat atau memacu pembentukan asam amino tryptophan yang berfungsi sebagai prekusor IAA, sehingga jumlah IAA dalam jaringan akan meningkat sedikit melebihi optimal, kira-kira diantara 30 pm sampai 50 ppm (Darmayanti, 2009).
Ujung batang daun-daun muda yang mengalami dormansi akan menyebabkan tingginya kandungan auksin di tempat tersebut. Tingginya kandungan auksin tersebut akan dialirkan secara difusi ke organ-organ lain sehingga tunas lateral akan terhambat pertumbuhannya. Jika pucuk batang dipotong akan muncul tunas lateral. Mekanisme terbentuknya tunas lateral adalah karena adanya pemotongan pucuk batang sehingga aliran auksin ke bawah akan terhambat sehingga akan tumbuh tunas ke samping yang disebut tunas lateral (Rismunandar, 1988).
Dominansi apikal mengontrol pertumbuhan tunas dalam tahap perkembangan vegetatif pada tanaman vaskuler dan tahap juvenil pada tanaman berkayu. Siklus musiman untuk pertumbuhan dan dormansi terjadi di seluruh tunas pada tanaman berkayu. Misalnya, pada akhir musim tanam, tanaman perenial akan mengalami dormansi ketika suhu meningkat. Strategi ini digunakan sebagai perlindungan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi secara tiba-tiba. Oleh karena itu, suhu lingkungan akan mempengaruhi dominansi apikal dan pertumbuhan tunas-tunas axillari pada tanaman (Shimizu-Sato dan Mori, 2001).
Pengaruh auksin terhadap pertumbuhan jaringan tanaman diduga melalui :
 Mengiduksi sekresi ion H+ keluar sel melalui dinding sel. Pengasaman dinding sel menyebabkan K+ diambil dan pengambila ini mengurangi potensial air dalam sel. Akibatnya air masuk ke dalam sel dan sel membesar.
 Mempengaruhi metabolisme RsNA yang berarti metabolisme protein mungkin melalui trasnkripsi molekul RNA.
 Memacu terjadinya dominansi apikal.
 Dalam jumlah sedikit memacu pertumbuhan akar (Catala, 2000,).
Menurut Wattimena (1987), faktor dari dalam mempengaruhi terjadinya dominansi apikal adalah zat pengatur tumbuh, faktor genetik, faktor lingkungan, dan dipengaruhi pula oleh usia fisiologis dari tanaman itu sendiri.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Zat pengatur tumbuh jenis IBA lebih cepat menumbuhkan tunas lateral dibandingkan dengan IAA.
2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang paling cepat dalam menumbuhkan tunas lateral adalah IBA 1,5 ppm.

Daftar Referensi
Catala, C., Rose, J.K.C., Bennett, A.B., 2000. Auxin-Regulated Genes Encoding Cell Wall-Modifying Proteins are Expressed During Early Tomato Fruit Growth-Plant. Physiol 122 : 527 – 534.

Darmayanti, S. 2009. Struktur dan Perkembangan Daun Acalypha indica L Yang Diperlakukan Dengan Kombinasi IAA dan GA Pada Konsentrasi Yang Berbeda. ISSN: 1410-8801. Vol. 11, No. 1, Hal. 40-45

Hoesen, D. S. H. dan S. H. Priyono. 2000. Peranan zat pengatur tumbuh IBA, NAA, dan IAA pada perbanyakan amarilis merah (Amaryllidaceae). Prosiding Seminar Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Kebun Raya Bogor, 5 November 2000.

Rismunandar. 1988. Hormon Tanaman dan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta
Shimizu-Sato, S. dan H. Mor. 2001. Control of outgrowth and dormancy in axillary buds. Plant Physiology 127 : 1405 – 1413.
Wattimena, G.A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh. PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
Wilkins, M.B. 1989. Fisiologi Tumbuhan. Bumi Aksara, Jakarta

Pengaruh Giberelin terhadap perpanjangan batang.

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II
Acara praktikum : Pengaruh Giberelin terhadap perpanjangan batang.
Tujuan : Untuk mengetahui Giberelin yang efektif dalam merangsang pertumbuhan tanaman, khususnya terhadap perpanjangan batang.

Hasil dan Pembahasan:
Tabel .Pengamatan Pengaruh Giberelin Terhadap Perpanjangan Batang Jagung

Konsentrasi Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0 ppm 13 13 13 13 13 13,2 13,2 13,8 14 14 14,2 14,2 15 15
5 ppm 17 17 17 17 17,6 17,6 17,8 18 18,2 18,2 18,5 18,8 19 19,5
10 ppm 16 18,5 19 21 23 24 25 27 30 32 34 35 37 38
15 ppm 15,7 15,8 16,3 16,9 17,5 18 18,4 19,5 20,1 20,8 21,4 21,9 22,5 23,6
20 ppm 19,5 20,5 21,2 21,9 22,7 23,4 24,1 24,2 29,2 26,5 27,3 28,4 30,5 31,7
0 ppm (2) 12,4 12,5 12,5 12,5 12,5 12,7 12,7 12,7 13,4 13,6 13,7 13,9 14,2 14,5

Tabel .Pengamatan Pengaruh Giberelin Terhadap Perpanjangan Batang Kedelai

Konsentrasi Hari Ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0 ppm 10,3 10,3 10,3 10,5 10,7 11,6 11,6 11,7 11,9 12,6 12,9 13,2 13,5 14,1
5 ppm 14,2 14,2 14,3 14,6 15,1 15,5 15,9 16,5 17,2 17,9 18,3 19,4 20,1 21
10 ppm 8,5 9,5 10,2 17,5 18,5 19,9 22 23,4 24,1 26,1 27,5 29,4 31 32,1
15 ppm 15 16 17 18,2 19,3 20,1 21,7 22,3 23,1 24.2 26,1 27,2 29,7 31,2
20 ppm 11 12 12,6 16,3 17,8 19,1 21,9 24,1 25,9 27,1 29.2 32,5 32,6 33,7
0 ppm (2) 7 7 7 7 7,1 7,1 7,2 7,2 7,3 7,3 7,4 7,5 7,6 7,7

Catatan
 Setiap 2 kali sehari di tetesi GA sebanyak 3 tetes pada bagian ujung
 Panjang awal tanaman jagung 20,7 cm



B. Pembahasan
Berdasarkan hasil ptaktikum yang didapat bahwa giberelin dapat memacu pertumbuhan batang. Konsentrasi yang paling sesuai diberikan pada tanaman kedelai dan tanaman jagung adalah konsentrasi 15 ppm. Hasil pengamatan memperlihatkan pada tanaman jagung dan kedelai, konsentrasi 15 ppm lebih tinggi hasil pertumbuhannya.
Giberelin pertama kali ditemukan oleh seorang ahli patologi Jepang, Kurosawa, ketika meneliti penyakit tanaamn padi yang disebut bakane. Penyakit tersebut disebabkan oleh jamur Gibberella fujikuroi, yang dikenal juga sebagai Fusarium moniliforme. Dari hasil penelitiannya didapat bahwa jamur tersebut mengeluarkan suatu substansia/zat yang sekarang dikenal dengan nama giberelin. giberelin, pertama kali zat ini diambil yaitu dari jamur Gibberella fujikuroi (Fusarium moniliforme, organisme penyebab penyakit “foolish seedling” pada padi). tanaman padi yang diserang terlihat lebih tinggi dari yang lain. Gejala ini ternyata diakibatkan karena suatu zat yang dikeluarkan oleh jamur tersebut. Tahun 1938, Yabuta dan Sumuki berhasil mendapatkan Gibberrellin dari jamur tersebut (Anonymous, 2009).
Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, bintil akar, buah, dan jaringan halus. Giberelin dapat merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan. Giberelin dapat pula menggantikan perlakuan suhu rendah (20-40C) pada tanaman yang membutuhkan perlakuan tersebut bagi pembungaan (Heddy, 1986). Giberelin mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat (Jacobsen et al., 1995).
Giberelin mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat. Tinggi tanaman tidak dipengaruhi oleh giberelin. Hal ini karena giberelin diberikan pada umbi bibit sebelum ditanam sehingga pengaruhnya hanya pada fase awal pertumbuhan yaitu berupa pemacuan pertumbuhan tunas lateral. Pengaruh tersebut tidak terbawa ke fase pertumbuhan selanjutnya sehingga tinggi tanaman tidak terpengaruh (Ni Luh Arpiwi, 2007).
Efek yang ditimbulkan oleh giberelin umumnya bertitik berat pada pola pertumbuhan normal. Giberelin alami ada lebih dari 30 macam, semuanya memiliki konfigurasi kimia yang khusus tetapi yang paling sering digunakan adalah Asam giberelat (GA3) dan efek fisiologi giberelin kebanyakan dianggap hanya dari senyawa ini. Giberelin bekerja pada gen dengan menyebabkan aktivasi gen-gen tertentu. Gen-gen yang diaktifkan akan membentuk enzim-enzim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan morphogenetik (penampilan/kenampakan tanaman) (Rukmana, 1997).
Beberapa fungsi giberelin pada tumbuhan sebagai berikut:
1. mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses
pembelahan sel.
2. meningkatkan pembungaan.
3. memacu proses perkecambahan biji. Salah satu efek giberelin adalah mendorong terjadinya sintesis enzim dalam biji seperti amilase, protease dan lipase dimana enzim tersebut akan merombak dinding sel endosperm biji dan menghidrolisis pati dan protein yang akan memberikan energi bagi perkembangan embrio diantaranya adalah radikula yang akan mendobrakendosperm, kulit biji atau kulit buah yang membatas pertumbuhan/perkecambahan biji sehingga biji berkecambah.
4. pemanjangan sel (Fernie and Willmitzer, 2001).

Kesimpulan
1. Giberelin merangsang pertumbuhan batang pada tanaman kedelai dan tanaman jagung.
2. Data hasil pengamatan pada tanaman jagung dan kedelai didapat konsentrasi yang paling tepat adalah 15 ppm.

Daftar Referensi
Anonymous. 2009. Hormonik (Hormon Tumbuhan/ZPT).http://www. GreenTect’s Blog.com. Tanggal 19 April 2010.
Fernie, A.R. and L. Willmitzer. 2001. Molecular and biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiology 127: 1459-1465.

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali Press, Jakarta.

Jacobsen, J.V., F. Gubler and P.M. Chandler. 1995. Gibberellin action in germinated cereal grains. In 'Plant hormones physiology, biochemistry and molecular biology'. (Ed PJ Davies) pp. 246-271. (Kluwer Academic Publisher: Dordrecht).
Ni Luh Arpiwi. 2007. Pengaruh Konsentrasi Giberelin Terhadap Produksi Bibit Kentang (Solanum tuberosum L. cv. GRANOLA) Ukuran M (31 - 60 gram). Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana.

Rukmana, R. 1997. Kentang Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius Yogyakarta.

Peranan Auksin terhadap perakaran auksin

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN II

Acara Praktikum : Peranan Auksin Terhadap Perakaran Stek

Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA dan NAA serta akuades

Hasil dan Pembahasan :

A. Hasil

Tabel hasil pengamatan pertumbuhan akar pada tanaman tetean.

Jenis ZPT

[ ] ppm

Jumlah akar yang tumbuh setelah 2 minggu

Panjang akar terpanjang setelah 2 minggu

Kontrol (aquades)

0

Tidak tumbuh

-

IAA

20

Tidak tumbuh

-

40

Tidak tumbuh

-

60

Tidak tumbuh

-

NAA

20

Tidak tumbuh

-

40

Tidak tumbuh

-

60

Tidak tumbuh

-

B. Pembahasan

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan akar pada tanaman tetean adalah tidak didapatkan pertumbuhan akar pada berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan pada tanaman tersebut. Hal tersebut tidak sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa pemberian NAA dan IAA dapat meningkatkan pertumbuhan perakaran pada tumbuhan yang distek. NAA sebagai salah satu jenis auksin sintetis, dapat meningkatkan perakaran. Pertumbuhan perkaran seharusnya menunjukkan pada pemberian zat pengatur tumbuh jenis NAA lebih menunjukkan adanya pertumbuhan perakaran yang lebih banyak dikarenakan NAA lebih efektif memberikan respon terhadap pertumbuhan akar daripada IAA atau auksin sintetis lain dengan adanya pertumbuhan akar lebih cepat dan lebih banyak (Hasanah dan Nintya, 2007). Tidak adanya pertumbuhan akar ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain adanya penghilangan daun, pH, temperatur dan kesuburan tanah (Gardner et al., 1991). Konsentrasi IAA yang rendah (<10-5>

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik komplek alami yang disintesis oleh tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting yaitu sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Selain auksin dan sitokinin, giberalin dan persenyawaan-persenyawaan lain juga ditambahkan dalam kasus-kasus tertentu (Anonim, 2008).

Semua zat pengatur tubuh yang sangat efektif dalam mengatur pertumbuhan akar adalah golongan auksin. Sejak pertengahan tahun 1930-an dan selanjutnya, penelitian tentang aspek fisiologis auksin telah banyak dilakukan. Banyak bukti menyatakan bahwa auksin sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan batang, formasi akar, menghambat terhadap pertumbuhan cabang lateral, abisisi pada daun dan buah, serta mengaktifkan kerja lapisan kambium dan lainnya (Anonim, 2008).

Auksin adalah zat yang di temukan pada ujung batang, akar, pembentukan bunga yang berfungsi sebagai pengatur pembesaran sel dan memicu pemanjangan sel di daerah belakang meristem ujung. Hormon auksin adalah hormon pertumbuhan pada semua jenis tanaman. Nama lain dari hormon ini adalah IAA atau asam indol asetat. Letak dari hormon auksin ini terletak pada ujung batang dan ujung akar. Hormon auksin ini berfungsi untuk membantu proses mempercepat pertumbuhan, baik itu pertumbuhan akar maupun pertumbuhan batang, mempercepat perkecambahan, membantu dalam proses pembelahan sel, mempercepat pemasakan buah, mengurangi jumlah biji dalam buah. Kerja hormon auksin ini sinergis dengan hormon sitokinin dan hormon giberelin (Anonim, 2008).

Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif buatan dengan menggunakan sebagian batang, akar, atau daun tanaman untuk ditumbuhkan menjadi tanaman baru. Sebagai alternarif perbanyakan vegetatif buatan, stek lebih ekonomis, lebih mudah, tidak memerlukan keterampilan khusus dan cepat dibandingkan dengan cara perbanyakan vegetatif buatan lainnya. Cara perbanyakan dengan metode stek akan kurang menguntungkan jika bertemu dengan kondisi tanaman yang sukar berakar, akar yang baru terbentuk tidak tahan stress lingkungan dan adanya sifat plagiotrop tanaman yang masih bertahan.

Keberhasilan perbanyakan dengan cara stek ditandai oleh terjadinya regenerasi akar dan pucuk pada bahan stek sehingga menjadi tanaman baru. Regenerasi akar dan pucuk dipengaruhi oleh faktor intern yaitu tanaman itu sendiri dan faktor ekstern atau lingkungan. Salah satu faktor intern yang mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk adalah fitohormon yang berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh.

Boulline dan Went (1933) menemukan substansi yang disebut rhizocaline pada kotiledon, daun dan tunas yang menstimulasi perakaran pada stek. Menurut Hartmann et al (1997), zat pengatur tumbuh yang paling berperan pada pengakaran stek adalah Auksin. Auksin yang biasa dikenal yaitu indole-3-acetic acid (IAA), indolebutyric acid (IBA) dan nepthaleneacetic acid (NAA). IBA dan NAA bersifat lebih efektif dibandingkan IAA yang meruapakan auksin alami,

sedangkan zat pengatur tumbuh yang paling berperan dalam pembentukan tunas adalah sitokinin yang terdiri atas zeatin, zeatin riboside, kinetin, isopentenyl adenin (ZiP), thidiazurron (TBZ), dan benzyladenine (BA atau BAP). Selain auksin, absisic acid (ABA) juga berperan penting dalam pengakaran stek.

Faktor intern yang paling penting dalam mempengaruhi regenerasi akar dan pucuk pada stek adalah faktor genetik. Jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan regenerasi akar dan pucuk yang berbeda pula. Untuk menunjang keberhasilan perbanyakan tanaman dengan cara stek, tanaman sumber seharusnya mempunyai sifat-sifat unggul serta tidak terserang hama dan penyakit. Selain itu, manipulasi terhadap kondisi lingkungan dan status fisiologi tanaman sumber juga penting dilakukan agar tingkat keberhasilan stek tinggi. Kondisi lingkungan dan status fisiologi yang penting bagi tanaman sumber diantaranya adalah:

1. Status air. Stek lebih baik diambil pada pagi hari dimana bahan stek dalam kondisi turgid.

2. Temperatur. Tanaman stek lebih baik ditumbuhkan pada suhu 12°C hingga 27°C.

3. Cahaya. Durasi dan intensitas cahaya yang dibutuhkan tamnaman sumber tergantung pada jenis tanaman, sehingga tanaman sumber seharusnya ditumbuhkan pada kondisi cahaya yang tepat.

4. Kandungan karbohidrat.

Meningkatkan kandungan karbohidrat bahan stek yang masih ada pada tanaman sumber bisa dilakukan pengeratan untuk menghalangi translokasi karbohidrat. Pengeratan juga berfungsi menghalangi translokasi hormon dan substansi lain yang mungkin penting untuk pengakaran, sehingga terjadi akumulasi zat-zat tersebut pada bahan stek. Karbohidrat digunakan dalam pengakaran untuk membangun kompleks makromolekul, elemen struktural dan sebagai sumber energi. Walaupun kandungan karbohidrat bahan stek tinggi, tetapi jika rasio C/N rendah maka inisiasi akar juga akan terhambat karena unsur N berkorelasi negatif dengan pengakaran stek (Hartmann et al, 1997).

Faktor lingkungan tumbuh stek yang cocok sangat berpengaruh pada terjadinya regenerasi akar dan pucuk. Lingkungan tumbuh atau media pengakaran seharusnya kondusif untuk regenerasi akar yaitu cukup lembab, evapotranspirasi rendah, drainase dan aerasi baik, suhu tidak terlalu dingin atau panas, tidak terkena cahaya penuh (200-100 W/m2) dan bebas dari hama atau penyakit.

Tumbuhan mengandung 3 senyawa lain yang struktrurnya mirip dengan IAA dan menyebabkan banyak respon yang sama dengan IAA. Ketiga senyawa tersebut juga termasuk sebagai auksin. Senyawa-senyawa tersebut adalah asam 4-kloroindol asetat, asam fenilasetat (PAA) dan asam Indolbutirat (IBA) (Dwidjoseputro, 1992). Asam indol-3 asetat (IAA) diidentifikasi sebagai senyawa alami yang menunjukkan aktivitas auksin yang mendorong pembentukan akar adventif. IAA sintetik juga telah terbukti mendorong pertumbuhan akar adventif. Terdapat juga senyawa yang sama seperti asam indol butirat (IBA) dan asam naptalen asetat (NAA) yang mempunyai efek sama dengan IAA. Hal itu ditunjukkan bahwa inisiasi sel untuk membentuk akar tergantung dari kandungan auksin. Pembentukan inisiasi akar dalam batang terbukti tergantung pada tersedianya auksin di dalam tanaman ditambah hormon pemacu auksin (Rooting Co-factors) yang secara bersama-sama mengatur sintesis RNA untuk membentuk primordia akar (Hartman dan Kester, 1975).

Pembentukan akar adventif sangat berkaitan dengan konsentrasi hormon alami yang terbentuk di dalam tanaman, sehingga terdapat kaitan yang sangat erat antara hormon tanaman dengan kemampuan berakarnya stek. Bukti menunjukkan bahwa semua jenis hormon mengatur pertumbuhan tanaman, tetapi tidak semua zat pengatur tumbuh tanaman adalah hormon. Pertumbuhan akar adventif penting dalam perbanyakan tanaman dengan stek. Proses pertumbuhan akar adventif terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) diferensiasi sel yang diikuti dengan inisiasi akar (2) diferensiasi sel-sel meristematis sampai terbentuk primordia akar dan (3) munculnya akar-akar baru (Ashari, 1995).

Pengaruh fisiologis auksin terhadap pertumbuhan akar tumbuhan biasanya menghambat pemanjangan sel, kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah. Pemberian NAA sebagai salah satu jenis auksin sintetis, terbukti dapat meningkatkan perakaran. Bahkan dari hasil yang diperoleh, diketahui bahwa NAA lebih efektif daripada IAA atau auksin sintetis lain (Hasanah dan Nintya, 2007). Mekanisme kerja auksin dalam pembentukan akar yang pertama auksin akan memperlambat timbulnya senyawa-senyawa dalam dinding sel yang berhubungan dengan pembentukan kalsium pektat, sehingga menyebabkan dinding sel menjadi lebih elastis (Hastuti dkk, 2002). Akibatnya sitoplasma lebih mudah untuk mendorong dinding sel ke arah luar dan memperluas volume sel. Selain itu, auksin menyebabkan terjadinya pertukaran antara ion H+ dengan ion K+. Ion K+ akan masuk ke dalam sitoplasma dan memacu penyerapan air ke dalam sitoplasma tersebut untuk mempertahankan tekanan turgor dalam sel, sehingga sel mengalami pembengkakan. Setelah mengalami pembengkakan maka dinding sel akan menjadi keras kembali karena terjadi kegiatan metabolik berupa penyerapan ion Ca+ dari luar sel, yang akan menyempurnakan susunan kalsium pektat dalam dinding sel (Hasanah dan Nintya, 2007).

Hormon auksin dapat mempercepat pertumbuhan akar dibandingkan dengan batang, tetapi konsentrasi auksin distimulasi untuk batang dapat menghambat pertumbuhan akar (Witham and Devlin, 2002). Peranan daun pada stek cukup besar, karena daun melakukan proses assimilasi dan hasil assimilasi tentu dapat mempercepat pertumbuhan akar. Tetapi dalam jumlah daun yang terlalu banyak akan menghambat pertumbuhan akar stek, oleh karena penguapan yang cukup besar. Maka daun pada stek yang diikutkan satu atau dua saja atau lebih aman dihilangkan sama sekali ( Wudianto, 1999).

Pengaruh auksin dalam proses pembentukan akar dapat membantu mengimbangkan pertumbuhan sistem akar dan sistem tajuk. Terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa auksin dari batang sangat berpengaruh pada awal pertumbuhan akar. Bila daun muda dan kuncup yang mengandung banyak auksin dipangkas maka jumlah pembentukan akar samping akan berkurang. Bila hilangnya organ tersebut diganti dengan auksin, maka kemampan membentuk akar sering terjadi kembali (Salisbury dan Ross, 1995). Auksin juga memacu perkembangan akar pada batang. Banyak tanaman berkayu, misalnya tanaman apel (Pyrus malus), telah membentuk primordia akar terlebih dahulu pada batangnya dan akan tumbuh apabila dipacu dengan auksin. Primordia ini sering terdapat di nodus atau bagian bawah cabang diantara nodus. Pada daerah tersebut, pada batang apel, masing-masing mengandung sampai 100 primordia akar. Bahkan, batang tanpa primordia sebelumnya akan mampu menghasilkan akar dari pembelahan lapisan floem bagian luar (Salisbury dan Ross, 1995).

Proses pemanjangan akar terkonsentrasi pada sel-sel dekat ujung akar, dimana terletak tiga zona sel dengan tahapan pertumbuhan primer yang berurutan. Dari ujung akar ke arah atas terdapat zona pembelahan sel, zona pemanjangan dan zona pematangan. Zona pembelahan sel meliputi meristem apikal dan turunannya, yang disebut meristem primer (terdiri dari protoderm, prokambium dan meristem dasar). Meristem apikal yang terdapat di pusat zona pembelahan menghasilkan sel-sel meristem primer yang bersifat meristematik. Zona pembelahan sel bergabung ke zona pemanjangan (elongasi). Di sini sel-sel memanjang sampai sepuluh kali semula, sehingga mendorong ujung akar, termasuk meristem ke depan. Meristem akan mandukung pertumbuhan secara terus-menerus dengan menambahkan sel-sel ke ujung termuda zona pemanjangan tersebut (Campbell et al. 1999).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan distribusi akar menurut Gardner et al. (1991) yaitu :

1. Genotipe, karakteristik akar secara kuantitatif akan diturunkan ke generasi selanjutnya dan dikendalikan oleh gen, perbedaan genetik ini lalu akan berinteraksi dengan lingkungan.

2. Persaingan, kompetisi spesies tumbuhan mengeluarkan bahan panghambat oleh akar disebut alelopati.

3. Penghilangan daun, pemotongan daun dapat mengurangi pertumbuhan akar dan pucuk tanaman.

4. Atmosfer tanah, kandungan CO2 yang lebih banyak dari O2 dalam rhizospere akan merangsang pertumbuhan akar.

5. pH, dalam pH kurang dari 6 akan membatasi pertumbuhan akar karena meningkatkan kelarutan Al, Mn, Fe.

6. Temperatur tanah, temperatur optimum pertumbuhan akar lebih rendah dari bagian pucuk.

7. Kesuburan tanah, pertumbuhan dan perkembangan akar memerlukan sumber mineral yang cukup.

8. Air, akar tidak akan tumbuh melalui lapisan tanah yang kering.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Auksin dengan konsentrasi yang tinggi dapat menghambat perpanjangan sel sedangakan pada konsentrasi yang sangat rendah dapat mendorong pertumbuhan tanaman.

2. NAA lebih efektif memberikan respon terhadap pertumbuhan akar daripada IAA atau auksin sintetis lain dengan adanya pertumbuhan akar lebih cepat dan lebih banyak.

Daftar Referensi

Anonim. 2008. Pengaruh Auksin Terhadap Perpanjangan Jaringan.http://wawanjunblog.com. diakses April 2010.

Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI Press. Jakarta.

Campbell, N. A, J. B. Reece and L. E. Mitchell. 1999. Biologi. Erlangga, Jakarta.

Dwidjoseputro, D. 1992. Pengantar Fisiologi Tumbuhan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gardner, F. P., R. B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press, Jakarta.

Hartman, H. T. dan D. E. Kester. 1975. Plant propagation. Prentice Hall International Inc. London.

Hasanah, FN dan Nintya S. 2007. Pembentukan Akar pada Stek Batang Nilam (Pogostemon cablin Benth.) setelah direndam IBA (Indol Butyric Acid) pada Konsentrasi Berbeda. Buletin Anatomi dan Fisiologi : Vol. XV, No.2

Hastuti, E. D., E. Prihastanti dan R. B. Hastuti. 2000. Fisiologi Tumbuhan II. Universitas Diponegoro.

Salisbury, F.B. dan Ross, C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2, ITB Press, Bandung.

Witham, F.H and Devlin, R.M., 2002. Plant Physiology Fourth Edition. CBS Publisher & Distributors. New Delhi.

Wudianto, R., 1999. Membuat Stek, Cangkok dan Okulasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

RENCANA KERJA PRAKTEK KERJA LAPANGAN

I. PENDAHULUAN

Kolesterol saat ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan yang dihadapi oleh negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang. Seperti kita ketahui, kolesterol merupakan salah satu penyebab penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit jantung dewasa ini merupakan penyebab paling utama keadaan sakit dan kematian bangsa-bangsa industri maju.

Penyakit jantung di Amerika Serikat merupakan penyebab utama kematian, yaitu kira-kira 37% sebab kematian. Sekitar 88% dari angka tersebut, disebabkan karena penyakit jantung koroner (Arjatmo dan Utama, 1996). Sedangkan di negara-negara berkembang, kecenderungan perubahan pola makan masyarakat yang didominasi oleh makanan berlemak tinggi dan rendah serat (junkfood), gaya hidup merokok serta kurang gerak merupakan penyebab timbulnya berbagai penyakit yang berhubungan dengan kolesterol.

Secara normal, kolesterol diproduksi oleh tubuh dalam jumlah yang tepat. Akan tetapi pola makan yang cenderung berupa makanan sumber hewani dengan lemak tinggi, menyebabkan jumlah kolesterol dalam darah berlebihan. Kelebihan kolesterol inilah yang dapat memacu aterosklerosis yang selanjutnya berpotensi menimbulkan penyakit jantung koroner (PJK) (Galton and Krone, 1991; Katzung, 1989).

Kolesterol adalah salah satu lemak tubuh yang berada dalam bentuk bebas dan ester dengan asam lemak. Lemak yang dimakan terdiri atas kolesterol lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Karbohidrat dan lemak tersebut di dalam tubuh akan diproses menjadi suatu senyawa yang disebut asetil koenzim A. Bahan ini akan membentuk beberapa zat penting seperti asam lemak, trigliserida, fosfolipid dan kolesterol, sehingga bila tubuh terlalu banyak asupan makanan yakni melebihi kebutuhan maka jumlah trigliserida dan kolesterol akan meningkat (Dalimartha, 2001).

Kolesterol dalam tubuh diproduksi dalam jumlah yang diperlukan. Hiperkolesterolemia terjadi jika kadar kolesterol melebihi batas normal, dan hal ini dapat menyebabkan aterosklerosis, yaitu penyumbatan pembuluh darah arteri akibat penumpukan di dinding arteri. Jika aterosklerosis ini terjadi di pembuluh darah arteri yang memasok oksigen ke jantung, maka hal ini dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, dan jika pada pembuluh darah yang ke otak akan menyebabkan stroke.

Hiperkolesterolemia dapat juga terjadi karena beberapa faktor lain, seperti bobot badan, usia, kurang olahraga, stress emosional, gangguan metabolisme, kelainan genetik dan pola makan yang tinggi kadar kolesterol dan lemak jenuh. Menurut Grundy (1991) mengkonsumsi makanan yang kaya kolesterol dan asam lemak jenuh dapat menekan pembentukan reseptor Low Density Lipoprotein (LDL), sehingga meningkatkan jumlah kolesterol yang beredar di dalam darah.

Lipid terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas yang berasal dari makanan dan disintesis lemak endogen. Lipid tidak larut dalam lemak oleh sebab itu harus terikat pada protein (dalam bentuk lipoprotein) agar dapat diangkut dalam peredaran darah. Kolesterol atau komponen lemak ini merupakan sumber energi yang memberikan kalori paling tinggi dan sangat dibutuhkan tubuh, terutama untuk membentuk dinding-dinding sel dalam tubuh. Selain itu, kolesterol berguna untuk pembentukan asam empedu, hormon-hormon

steroid, dan vitamin D (Ishaq, 2008).

Kadar kolesterol darah adalah kadar kolesterol yang terlarut dalam plasma darah. Kolesterol terdapat dalam jaringan dan lipoprotein plasma yang bisa berupa kolesterol bebas atau gabungan dengan asam lemak rantai panjang sebagai ester kolesterol. Kolesterol sangat larut dalam lemak tetapi hanya sedikit yang larut dalam air dan membentuk ester dengan asam lemak (Murray dkk., 2003).

Pengumpulan kolesterol di tubuh berhubungan dengan umur dan indeks berat badan. Karena semakin lama, terdapat pengumpulan buruk kolesterol di dalam jaringan badan, yang mencakup dinding arteri. Tubuh dapat membersihkan kolesterol melalui hati, kolesterol dapat diekskresikan ke dalam empedu dan feses. Kolesterol bisa diekresikan dalam empedu secara utuh atau mula–mula bisa diubah menjadi asam empedu. Mekanisme yang belum ditetapkan dengan baik yang menjelaskan cara kolesterol dari jaringan perifer (termasuk dinding arteri), diangkut ke hati untuk pembuangan. HDL berperan dalam membuang kolesterol dari jaringan dan meningkatkan pengangkutan kolesterol ke hati.

Guyton (1997) menyatakan bahwa, separuh dari jumlah kolesterol tubuh berasal dari sintesis dan sisanya berasal dari makanan sehari-hari yang berupa karbohidrat (glukosa), lemak (asam lemak), dan protein (asam amino). Kolesterol beredar dalam bentuk lipoprotein plasma yang dibentuk oleh hati, tetapi semua sel tubuh selain hati juga membentuk kolesterol meskipun dalam jumlah yang sedikit.

Sebagian besar lemak di tubuh kita berbentuk sebagai trigliserida. Lemak harus dibungkus oleh molekul protein agar dapat diangkut oleh darah. Kumpulan lemak yang terbungkus protein ini disebut lipoprotein. Ukuran lipoprotein

berbeda-beda. Lipoprotein yang lebih kecil disebut lipoprotein dengan daya larut rendah (low density lipoprotein/LDL) atau lipoprotein dengan daya larut sangat rendah (very low density lipoprotein/VLDL). Molekul ini mengangkut lemak dari hati ke bagian tubuh lain. Terlalu banyak LDL atau VLDL dapat menyebabkan lemak menumpuk di dinding pembuluh nadi. Penyempitan ini dapat menyebabkan pengiriman oksigen ke otot jantung berkurang, dengan akibat serangan jantung.

Lipoprotein yang lebih besar disebut lipoprotein dengan daya larut tinggi (high density lipoprotein/ HDL). HDL dianggap sebagai lipoprotein yang ‘baik’ karena mengeluarkan lemak dari pembuluh darah dan mengembalikannya ke hati untuk diproses lagi. Kadar HDL yang tinggi melindungi kita dari penyakit jantung.

Tujuan dari praktek kerja lapangan ini adalah untuk memeriksa kadar kolesterol darah pasien di Klinik Laboratorium Medico Labora Purwokerto.

II. MATERI DAN METODE

A. Materi, Lokasi, dan Waktu Pelaksanaan

1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini adalah tabung reaksi, sentrifugator, mikro pipet (ukuran 10, 100, 500, dan 1000 µl), tissue, fotometer, spuit (alat suntik), yellow dan blue tip, pengikat lengan dan batang pengaduk.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini adalah darah yang akan diperiksa, reagen kolesterol dan kolesterol standar.

3. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan

Praktek kerja lapangan (PKL) ini dilaksanakan di Laboratorium Klinik Medico Labora selama 1 minggu.

B. Metode

1. Pengambilan sampel darah

a. Sampel darah diambil setelah pasien puasa selama 10-12 jam.

b. Daerah lipatan lengan pasien diolesi alkohol, kemudian darah diambil dengan menggunakan spuit sebanyak 3cc.

c. Sampel darah yang sudah diambil, dipindahkan ke tabung reaksi.

d. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung sentrifuga kemudian disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 3000 rpm sampai serum (Supernatan) darah terpisah dengan gumpalan darah (Natan).

2. Pengukuran kadar kolesterol

a. Serum diambil sebanyak 10 µl dan ditambahkan reagen kolesterol sebanyak 1000 µl.

b. Dihomogenkan kemudian diinkubasi selama 20-30 menit pada suhu ruang (25 ºC).

c. Diukur hasil akhirnya menggunakan fotometer dengan panjang gelombang 546 nm.

d. Hasil yang muncul dicatat.

DAFTAR REFERENSI

Arjatmo, T. dan Utama, H., 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Dalimartha, S. 2001. 36 Resep Tumbuhan Untuk Menurunkan Kolesterol. Jakarta. Penebar Swadaya.

Galton, D. and Krone, W., 1991, Hiperlipidaemia in Practice, Gower Medical Publishing, London.

Grundy,S.M. 1991. Multifactorial etiology of hipercholesterolemia: implication for prevention of coronary heart disease. Arteriosclerosis and Thrombosis 11: 1619-1635.

Guyton, A. C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Ishaq. 2008. Mengenal Kolesterol. http://www.ningharmanto.com/newning/. Diakses tanngal 27 Januari 2010.

Katzung, B. G., 1989, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Murray, R. K., Daryl K. G., Peter A. M., dan Viktor W. R. 2003. Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.