Selasa, 13 Juli 2010

Dekomposisi Serasah

Dedaunan kering dan ranting yang berada di lantai kebun maupun hutan disebut sebagai serasah. Serasah merupakan material organik yang mampu diuraikan oleh mikroorganisme dan organisme kecil lain. Material organik diuraikan oleh mikroorganisme karena berperan sebagai sumber energi dan makanan bagi mikroorganisme tersebut. Hasil penguraian oleh mikroorganisme akan berguna sebagai penyediaan hara tanaman. Jadi penambahan bahan organik di samping sebagai sebagai sumber energi bagi mikroorganisme juga sebagai sumber hara bagi tanaman (Simaningkalit et al., 2006).

Serasah diuraikan oleh kompleks mikroorganisme, baik bakteri, jamur, lipan maupun kumbang tanah. Serasah diuraikan oleh mikroorganisme menjadi material anorganik untuk dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan. Dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban udara, jumlah dan keragaman mikroorganisme serta kandungan kimia serasah.

Setiap mikroorganisme memliki kisaran suhu optimu untuk kelangsungan hidupnya. Suhu yang terlalu rendah mengakibatkan enzim metabolisme sel menjadi inaktif. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan denaturasi protein. Kelembaban udara berpengaruh terhadap dekomposisi serasah karena memberikan kondisi optimum untuk penguraian material organik menjadi material organik yang lebih sederhana maupun menjadi material anorganik. Jumlah mikroorganisme berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah karena semakin banyak mikroorganisme, semakin cepat pula proses dekomposisi. Keragaman mikroorganisme berkaitan dengan interaksi antara mikroorgnisme. Interaksi yang mungkin terjadi antara lain sinergisme dan antagonisme. Semakin kompleks kandungan kimia suatu serasah, semakin lama proses dekomposisinya.

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui peran mikroorganisme dalam mendekomposisi serasah.

Kombinasi mikroorganisme yang tepat dan keragamannya dipertimbangkan untuk mencukupi kebutuhan fungsi ekologis dan keseimbangan ekosistem dalam waktu yang lama dalam siklus nutrien di alam (Bengtsson, 2002). Tingginya keragaman mikroba di dalam komunitas dalam mendegradasi seresah dapat mempengaruhi kecepatan dekomposisi seresah. Semakin beranekaragam mikroba yang terkandung di dalamnya, maka dekomposisi akan semakin cepat.

Jamur berperan penting dalam dekomposisi seresah di ekosistem dalam siklus nutrisi tanah dan membentuk materi organik tanah. (Swift et al., 1979) karena dapat mendekomposisi matriks lignoselulose seresah yang kemudian dilanjutkan oleh mikroorganisme lain seperti bakteri penyerap unsure yang sederhana. Penelitian menunjukan bahwa jamur dibagi kedalam tiga kelompok fungsional berdasarkan penggunaan substratnya. Dekomposer lignosellulose, pemecah ikatan lignin dan karbohidrat dalam berbagai ukuran. Dekomposer Selullose, secara khusus memecah ikatan karbohidrat yang lebih sederhana dari hasil pecahan lignin seperti selulose. Jamur yang menyerap gula sederhana hasil dekomposisi akhir (Osono dan Takeda, 2006).

Mekanisme degradasi seresah dapat dijelaskan karena kemampuan mikroba memproduksi enzim lignose dan atau selulase menjadikannya mampu menghidrolisis lignin dan atau selulosa yang terdapat pada substratnya menjadi glukosa atau gula-gula lain yang larut dan dapat dijadikan sumber karbon bagi pertumbuhannya. Beberapa jenis kapang mampu menghidrolisis kompleks enzim lignose dan atau selulase (Gong dan Tsao, 1979). Gula-gula sederhana tersebut digunakan oleh mikroorganisme lain untuk membentuk senyawa yang dibutuhkan oleh tumbuhan.

Azotobacter sp. mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea reduktase dan fosfatase yang berperan penting degradasi lanjutan dari senyawa yang telah dikomposisi oleh jamur yang kemudian seyawa tersebut digunakan dalam penambatan N bebas dari udara dan pelarut P dari senyawa P sukar larut. Selain itu, mikroba tersebut juga menghasilkan asam-asam organik pelarut P dan atau polisakarida ekstrasel yang berguna sebagai perekat dalam pembentukan agregat mikro. Perekat partikel tanah akan mendorong terbentuknya butiran tanah yang mantap sehingga aerasi lebih baik dan secara keseluruhan tanah menjadi lebih tahan terhadap erosi (Goenadi et al., 1995).

Barbour et al., (1987) mengatakan bahwa laju dekomposisi serasah berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Laju ini terutama dipengaruhi oleh kelembapan udara, organisme flora dan fauna mikro dan kandungan kimia dari serasah. Osono dan takeda (2006), menambahkan bahwa kecepatan dekomposisi seresah daun dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

1. Tipe seresah

Kandungan senyawa yang terkandung di dalam seresah seperti kandungan lignin, selulosa, dan karbohidratnya. Tipe seresah mempengaruhi kemampuan suatu mikroba untuk mendekomposisi senyawa-senyawa kompleks yang terkandung di dalam seresah, dimana lignin akan lebih susah untuk didekomposisi, selanjutnya selulosa dan gula sederhana adalah senyawa berikutnya yang relatif cepat didekomposisi.

2. Temperatur

Donelly et al. (1990), kecepatan dekomposisi tertinggi ditunjukan pada suhu 24 ºC. Suhu merupakan parameter fisika yang mempengaruhi sifat fisiologi mikroorganisme yang hidup lingkungan tersebut. Setiap peningkatan suhu sebesar 10oC akan meningkatkan laju metabolisme organisme menjadi dua kali lipat (Nontji et al., 1980). Akan tetapi penambahan suhu maksimal dapat mematikan mikroorganisme pendegradasi seresah.

3. Pengaruh pH

Aktivitas enzim selulase dipengaruhi oleh pH, dimana aktivitas selulase yang tinggi menurut Kulp (1975), bahwa pH optimum untuk aktivitas selulase kapang berkisar antara 4,5-6,5. Enzim pada umumnya hanya aktif pada kisaran pH yang terbatas. Nilai pH optimum suatu enzim ditandai dengan menurunnya aktivitas pada kedua sisi lainnya dari kurva yang disebabkan oleh turunnya afinitas atau stabilitas enzim. Pengaruh pH pada aktivitas enzim disebabkan oleh terjadinya perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat sebagai akibat perubahan pH (Irawadi, 1991).



Bioaerosol

Udara, sebagai salah satu komponen lingkungan merupakan kebutuhan yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan. Metabolisme dalam tubuh makhluk hidup tidak mungkin dapat berlangsung tanpa oksigen yang berasal dari udara. Selain oksigen terdapat zat-zat lain yang terkandung di udara, yaitu karbon monoksida, karbon dioksida, formaldehid, jamur, virus, bakteri, dan sebagainya. Zat-zat tersebut jika masih berada dalam batas-batas tertentu masih dapat dinetralisir, tetapi jika sudah melampaui ambang batas maka proses netralisir akan terganggu. Peningkatan konsentrasi zat-zat di dalam udara tersebut dapat disebabkan oleh aktivitas manusia. Udara dapat dikelompokkan menjadi udara luar ruangan (outdoor air) dan udara dalam ruangan (indoor air). Kualitas udara dalam ruang sangat mempengaruhi kesehatan manusia, karena hampir 90% hidup manusia berada dalam ruangan.

Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas makhluk hidup atau sisa yang berasal dari makhluk hidup. Makhluk hidup terutama adalah jamur dan bakteri. Penyebaran bakteri, jamur, dan virus pada umumnya terjadi melalui sistem ventilasi. Sumber bioaerosol ada 2 yakni yang berasal dari luar ruangan dan dari perkembangbiakan dalam ruangan atau dari manusia, terutama bila kondisi terlalu berdesakan (crowded). Pengaruh kesehatan yang ditimbulkan oleh bioaerosol ini terutama 3 macam, yaitu infeksi, alergi, dan iritasi. Kontaminasi bioaerosol bersumber dari sistem ventilasi udara (humidifier) yang terdistribusi keseluruh ruangan dapat menyebabkan reaksi yang berbagai ragam seperti demam, pilek, sesak nafas dan nyeri otot dan tulang.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam hubungan kualitas udara dalam ruang adalah (a) kondisi lingkungan dalam ruang, kondisi lingkungan yang penting untuk diperhatikan adalah suhu ruangan, kelembaban, dan aliran udara. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan peningkatan absorbs polutan mikroba dalam ruangan, pertumbuhan mikroorganisme di udara, dan meningkatkan bau yang tidak sedap; (b) konstruksi ruangan dan furniture; (c) proses dan alat-alat dalam ruangan; (d) ventilasi, ventilasi udara yang buruk dapat menyebabkan kurangnya udara segar yang masuk dan buruknya distribusi udara di dalam ruang; (e) status kesehatan orang dalam ruangan.

Metode penangkapan mikroba udara dapat dilakukan antara lain dengan cara sedimentasi dan dengan alat penangkap udara. Cara sendimentasi ditujukan untuk menangkap bioearosol yang jatuh secara alami karena gaya gravitasi. Cara ini dilakukan dengan cara menempatkan cawan petri berisi medium pertumbuhan mikroba secara terbuka pada suatu lingkungan dalam kurun waktu tertentu.

A. Tinjauan Pustaka

Mikroba di udara bersifat sementara dan beragam. Udara bukanlah suatu medium tempat mikroorganisme tumbuh, tetapi merupakan pembawa bahan partikulat debu dan tetesan cairan, yang kesemuanya ini mungkin dimuati mikroba. Untuk mengetahui atau memperkirakan secara akurat berapa jauh pengotoran udara sangat sukar karena memang sulit untuk menghitung organisme dalam suatu volume udara. Namun ada satu teknik kualitatif sederhana, menurut Volk & Wheeler (1989) yaitu mendedahkan cawan hara atau medium di udara untuk beberapa saat. Selama waktu pendedahan ini, beberapa bakteri di udara akan menetap pada cawan yang terdedah. Semakin banyak bakteri maka bakteri yang menetap pada cawan semakin banyak. Kemudian cawan tersebut diinkubasi selama 24 jam hingga 48 jam maka akan tampak koloni-koloni bakteri, khamir dan jamur yang mampu tumbuh pada medium yang digunakan.

Sebenarnya tidak benar-benar ada organisme yang hidup di udara, karena organisme tidak dapat hidup dan terapung begitu saja di udara. Flora mikroorganisme udara terdiri atas organisme yang terdapat sementara mengapung di udara atau terbawa serta pada partikel debu. Setiap kegiatan manusia agaknya menimbulkan bakteri di udara. Batuk dan bersin menimbulkan aerosol biologi (yaitu kumpulan partikel udara). Kebanyakan partikel dalam aerosol biologi terlalu besar untuk mencapai paru-paru, karena partikel-partikel ini tersaring pada daerah pernapasan atas. Sebaliknya, partikel-partikel yang sangat kecil mungkin mencapai tapak-tapak infektif yang berpotensi. Jadi, walaupun udara tidak mendukung kehidupan mikroorganisme, kehadirannya hampir selalu dapat ditunjukkan dalam cuplikan udara. Bioaerosol adalah kumpulan partikel hidup yang tersuspensi dalam medium gas (Volk & Wheeler, 1989).

Salah satu sumber mikroba udara yang paling umum adalah mikroba yang berasal dari tanah. Mikroorganisme tanah dibebaskan ke udara ketika terganggu oleh pukulan angin, dan tetap tersuspensi di sana untuk jangka waktu yang panjang. Tindakan manusia seperti menggali atau membajak tanah juga dapat melepaskan mikroba ke udara. Demikian pula mikroorganisme yang ditemukan dalam air mungkin juga dilepaskan ke udara dalam bentuk tetesan air atau aerosol. Percikan air oleh angin juga bisa menghasilkan tetesan atau aerosol.

Mikroba pencemar udar dapat berupa kapang dan khamir. Khamir: fungi (jamur) bersel satu; berbentuk bulat, oval, atau silindris; berdiameter 3-5 μm; sebagian berkembang biak dengan membelah diri, dan sebagian lain berkembang biak dengan membentuk tunas. Habitat umumnya pada makanan. Kapang: fungi (jamur) berfilamen. Satu filamen disebut hifa; kelompok hifa yang tumbuh pada suatu media disebut miselium. Hifa terbentuk dari spora jamur. Spora berdiameter 3-30 μm. Habitat umumnya pada kayu dan kertas 6.

Praktikum bioaerosol ini menggunakan media Nutrien Agar sebagai tempat tumbuh mikroba dari udara yang jatuh akibat gaya gravitasi yang diukur waktunya selama 5 menit, 10 menit dan 15 menit, diinkubasi selama 2x24 jam dengan suhu 37oC. Penempatan cawan dilakukan dengan ruangan dan lingungan yang berbeda untuk mengetahui perbedaan jumlah mikroba di masing-masing tempat. Tujuan praktikum bioaerosol adalah untuk mengetahui pengaruh aktivitas dalam suatu ruangan terhadap kepadatan populasi mikroba dan keragamannya.

Semua lingkungan, udara merupakan lingkungan yang paling sederhana dan lingkungan ini berada dalam satu fasa yaitu gas. Jumlah relatif dari berbagai gas di udara diukur dengan persentase volume yaitu terdiri dari:

 78% nitrogen

 21% oksigen

 0,9% argon

 0,03% karbon dioksida

 0,01% hidrogen dan gas lainnya dalam jumlah sedikit.

Bioaerosol adalah partikel debu yang terdiri atas makhluk hidup atau sisa yang berasal dari makhluk hidup. Makhluk hidup terutama adalah jamur dan bakteri. Jumlah dan macam mikroorganisme dalam suatu volume udara bervariasi sesuai dengan lokasi, kondisi cuaca dan jumlah orang yang ada. Daerah yang berdebu hampir selalu mempunyai populasi mikroorganisme atmosfer yang tinggi. Sebaliknya hujan, salju atau hujan es akan cenderung mengurangi jumlah organisme di udara dengan membasuh partikel yang lebih berat dan mengendapkan debu. Jumlah mikroorganisme menurun secara menyolok di atas samudera, dan jumlah ini semakin berkurang pada ketinggian (altitude) yang tinggi (Volk & Wheeler, 1989).

Menurut Irianto (2002), jumlah mikroorganisme yang mencemari udara juga ditentukan oleh sumber pencemaran di dalam lingkungan, misalnya dari saluran pernapasan manusia yang disemprotkan melalui batuk dan bersin, dan partikel-partikel debu, yang terkandung dalam tetes-tetes cairan berukuran besar dan tersuspensikan, dan dalam “inti tetesan” yang terbentuk bila titik-titik cairan berukuran kecil menguap. Organisme yang memasuki udara dapat terangkut sejauh beberapa meter atau beberapa kilometer; sebagian segera mati dalam beberapa detik, sedangkan yang lain dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan lebih lama lagi. Nasib akhir mikroorganisme yang berasal dari udara diatur oleh seperangkat rumit keadaan di sekelilingnya (termasuk keadaan atmosfer, kelembaban, cahaya matahari dan suhu), ukuran partikel yang membawa mikroorganisme itu, serta ciri-ciri mikroorganismenya terutama kerentanannya terhadap keadaan fisik di atmosfer.

Hal ini membuktikan bahwa banyaknya jumlah koloni mikroba dan keragaman mikroba dipengaruhi oleh lamanya waktu pemaparan pada lingkungan luar, adanya mikroba yang tersuspensi dalam gas dan jatuh pada permukaan cawan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan komposisi jumlah mikroba di lingkungan luar adalah sifat dan keadaan fisiologis mikroorganisme dan juga keadaan suspensi. Spora relatif lebih banyak daripada sel vegetatif. Hal ini terutama karena sifat spora dorman yang memungkinkan mereka untuk mentolerir kondisi yang tidak menguntungkan seperti pengeringan, kurangnya nutrisi yang cukup dan radiasi ultraviolet. Demikian pula spora fungi berlimpah di udara karena spora merupakan alat penyebaran penyebaran fungi. Ukuran mikroorganisme merupakan faktor yang menentukan jangka waktu mereka untuk tetap melayang di udara. Umumnya mikroorganisme yang lebih kecil dapat dengan mudah dibebaskan ke udara dan tetap di sana selama jangka waktu lama. Miselium fungi memiliki ukuran yang lebih besar dan karena itu tidak dapat bertahan lama di udara. Keadaan suspensi memainkan peran penting keberadaan mikroorganisme di udara. Semakin kecil suspensi, semakin besar kemungkinan mereka untuk tetap berada di udara. Biasanya mereka melekat pada partikel debu dan air liur. Mikroorganisme yang ada dalam partikel debu di udara hanya hidup untuk waktu yang singkat. Tetesan yang dibuang ke udara melalui batuk atau bersin juga hanya dapat bertahan di udara untuk waktu singkat. Namun jika ukuran suspensi menurun, mereka dapat bertahan lama di udara.

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mikroba udara adalah suhu atmosfer, kelembaban, angin, ketinggian. Temperatur dan kelembaban relatif adalah dua faktor penting yang menentukan viabilitas dari mikroorganisme dalam aerosol. Pengaruh angin juga menentukan keberadaan mikroorganisme di udara. Udara yang tenang, partikel cenderung turun oleh gravitasi. Tapi sedikit aliran udara dapat menjaga mereka dalam suspensi untuk waktu yang relatif lama. Angin penting dalam penyebaran mikroorganisme karena membawa mereka lebih jauh.

Arus juga memproduksi turbulensi udara yang menyebabkan distribusi vertikal mikroba udara. Pola cuaca global juga mempengaruhi penyebaran vertikal. Ketinggian membatasi distribusi mikroba di udara. Semakin tinggi dari permukaan bumi, udara semakin kering, radiasi ultraviolet semakin tinggi, dan suhu semakin rendah sampai bagian puncak troposfer. Hanya spora yang dapat bertahan dalam kondisi ini. Dengan demikian, mikroba yang masih mampu bertahan pada ketinggian adalah mikroba dalam fase spora dan bentuk-bentuk resisten lainnya.

Mikroba yang ada di udara berasal dari habitat perairan maupun terestrial. Mikroba di udara pada ketinggian 300-1,000 kaki atau lebih dari permukaan bumi adalah organisme tanah yang melekat pada fragmen daun kering, jerami, atau partikel debu yang tertiup angin. Mikroba tanah masih dapat ditemukan di udara permukaan laut sampai sejauh 400 mil dari pantai pada ketinggian sampai 10.000 kaki. Mikroba yang paling banyak ditemukan yaitu spora jamur, terutama Alternaria, Trichosporon cutaneum dari debu rumah, Farnai rectivirgula dari jerami, Avrcobasidium pollulans dari uap air panas dan Serpula locrymans dari bangunan. Mereka dapat ditemukan baik di daerah kutub maupun tropis.

Alternia sp. ada di kayu, memiliki miselium jamur berwarna coklat, konidiofor tegak, bersekat, dengan ukuran 20-180 x 4-18 µm. Konidia berbentuk gada terbalik berwarna coklat berukuran 105-200 x 12-24 µm, dengan sekat melintang sebanyak 6-12 buah dan 3 buah sekat membujur. Konidium mempunyai paruh (beak) pada ujungnya, paruh bersekat, panjang paruh lebih kurang setengah dari panjang konidium atau lebih (weber,1973). Bakteria yang ditemukan di udara seperti Endotoksin bacteria yang berasal dari rumah pemotongan hewan, Staphylococcus aureus dari baju yang kotor, Legionella dari system pendingin ruangan dan jenis Actynomycetes berupa Thermoactinomycetes vulgaris berasal dari kompos timbunan sampah, Micropolyspora faeni. Protozoa yaitu Naegleria fowleri, Acanthamoeba, Algae, dan virus enteric.

Hasil pengamatan bioaerosol ini di dapat tempat yang memiliki banyak mikroba yaitu berada di lab. Mikrobiologi hal ini disebabkan karena lab. Mikro sudah berisi banyak orang yang melakukan berbagai aktivitas sehingga ada sisa-sisa mikroba yang tersuspensi dalam gas walaupun ruangan itu kosong. Factor yang mengakibatkan banyaknya kandungan bioearosol memang di pengaruhi oleh banyaknya orang dengan berbagai aktivitas, droplet dari praktikan yang menempati ruangan mirkobiologi, dan ventilasi yang kurang berpengaruh sehingga menyebabkan banyaknya kandungan mikroba.

Hampir semua mikroba pathogen dapat menyebabkan penyakit yang perantaranya berupa udara seperti penyakit paru, penyakit kulit dan lain-lain. Seluruh jenis mikroba dapat tersuspensi di dalam udara, hanya saja perbedaan waktu mikroba tersebut dapat hidup lama atau tidak dalam suspensi gas. Spora akan hidup lebih lama dibandingkan dengan bakteri.


Postulat Koch

Virus adalah satu set dari satu atau lebih molekul genom berupa asam nukleat (RNA atau DNA), yang biasanya dibungkus oleh selubung pengaman berupa protein selubung atau lipoprotein dan hanya dapat memperbanyak diri dalam sel inang yang sesuai dengan memanfaatkan metabolisme, materi, dan energi dari sel inang. Virus merupakan unit elemen yang masih menunjukkan tanda kehidupan, sehingga virus dapat juga didefinikan sebagai organisme tak sel yang mempunyai genom yang hanya dapat bereplikasi dalam sel inang dengan menggunakan perangkat metabolisme sel inang untuk membentuk seluruh komponen virus (Akin, 2006).

Adapun sifat-sifat khusus virus adalah bahan genetik virus terdiri dari asam ribonukleat (RNA) atau asam deoksiribonukleat (DNA), akan tetapi tidak terdiri dari kedua jenis asam nukleat sekaligus. Struktur virus secara relatif sangat sederhana, yaitu terdiri dari pembungkus yang mengelilingi atau melindungi asam nukleat. Virus mengadakan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam nukleus, sitoplasma atau di dalam keduanya dan tidak mengadakan kegiatan metabolisme jika berada di luar sel hidup. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan biner. Partikel virus baru dibentuk dengan suatu proses biosintesis majemuk yang dimulai dengan pemecahan suatu partikel virus infektif menjadi lapisan protein pelindunng dan komponen asam nukleat infektif. Asam nukleat partikel virus yang menginfeksi sel mengambil alih kekuasaan dan pengawasan sistem enzim hospesnya, sehingga selaras dengan proses sintesis asam nukleat dan protein virus. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk keperluan metabolismenya. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan baru digabung di dalam sel hospes tidak lama sebelum dibebaskan. Selama berlangsungnya proses pembebasan, beberapa partikel virus mendapat selubung luar yang mengandung lipid protein dan bahan-bahan lain yang sebagian berasal dari sel hospes. Partikel virus lengkap disebut virion dan terdiri dari inti asam nukleat yang dikelilingi lapisan protein yang bersifat antigenik yang disebut kapsid dengan atau tanpa selubung di luar kapsid (Lwoff et al., 1966).

Virus tumbuhan pertama kali ditemukan pada tahun 1576, sebagai patogen yang menimbulkan gejala perubahan warna pada bunga tulip yang semula berwarna polos menjadi bergejala strip (bercak bergaris). Mekanisme penularan virus tersebut belum dapat dijelaskan secara ilmiah oleh pakar biologi hingga tahun 1886. Meyer melakukan percobaan untuk mempelajari etiologi penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus pada tanaman tembakau bergejala mosaik (tobacco mosaic virus/TMV). Meyer belum sampai menyimpulkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh virus. Patogen mosaik tembakau dapat melewati saringan yang tidak dapat dilalui oleh bakteri. Martinus Beijerinck pada tahun 1898 juga mengulangi percobaan Meyer dan melaporkan bahwa patogen mosaic tembakau bukanlah bakteri tetapi merupakan contagium vivum fluidum yaitu sejenis cairan hidup pembawa penyakit (Akin, 2006).

Virus tumbuhan dalam beberapa hal berbeda dengan virus yang menyerang hewan dan bakteri. Salah satu perbedaan tersebut adalah mekanisme penetrasi virus ke dalam sel inang. Virus tumbuhan hanya dapat masuk ke dalam sel tumbuhan melalui luka yang terjadi secara mekanis atau yang disebabkan oleh serangga vector. Hal ini disebabkan virus tumbuhan tidak mempunyai alat penetrasi untuk menembus dinding sel tumbuhan. Asam nukleat yang menjadi genom virus tumbuhan sebagian besar merupakan molekul ssRNA. Namun, ada beberapa virus tumbuhan yang mempunyai genom dsDNA, ssDNA, dan dsRNA (Akin, 2006).

Tujuan dari praktikum Postulat Koch adalah untuk memberikan pemahaman praktek Postulat Koch dalam penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus tumbuhan. Khususnya mengetahui bagaimana cara penularan virus dari tanaman yang satu ke tanaman yang lain menggunakan metode sap, karena sangat penting untuk penelitian virus dalam laboratorium.

A. Pengamatan langsung

1. Daun kacang-kacangan yang terkena penyakit karat daun disiapkan.

2. Daun yang diduga terkena penyakit karat daun diamati gejalanya dengan tanda-tanda penyakit yang ditimbulkan pada tanaman kacang.

3. Asosiasi ini ditandai dengan adanya patogen pada tanaman yang sakit.

B. Pembuatan ekstrak atau sap dari tanaman yang terinfeksi virus

1. Tanaman kacang-kacangan yang mengalami sakit dicari, kemudian dipetik beberapa daun muda yang sakit.

2. Daun yang sakit dimasukkan ke dalam mortar, daun dilumatkan dalam akuades dengan penumbuk porselen.

3. Daun yang telah dilumatkan disaring dengan kertas saring sampai sap yang diperoleh hanya berupa cairan atau ekstrak.

C. Pengujian

1. Dua tanaman kacang-kacangan sehat disiapkan, satu tanaman sebagai kontrol dan satu tanaman lagi sebagai uji perlakuan.

2. Sap atau ekstrak dari daun yang sakit diolesi dengan cotton bud ke daun yang sehat pada tanaman perlakuan yang sebelumnya permukaan daun sudah dilukai dengan menggunakan amplas secara perlahan.

3. Setelah itu kedua daun tanaman baik kontrol maupun perlakuan ditutup dengan menggunakan plastik transparan yang terpisah agar tanaman kontrol tidak ikut terinfeksi. Penutupan dengan plastik transparan dimaksudkan untuk menjaga kondisi agar tetap lembab yang akan mendukung pertumbuhan patogen pada tanaman inang.

4. Perubahan yang terjadi pada daun diamati baik pada daun yang diinokulasi maupun control setiap hari sampai 7 hari. Mengamati apakah menimbulkan gejala yang sama antara daun awal yang terinfeksi virus dengan daun yang telah diinokulasi.

D. Uji penegasan

1. Uji penegasan dilakukan sesuai dengan kriteria Postulat Koch yang ketiga dan keempat yaitu, (3) mikroorganisme penyebab penyakit hasil isolasi harus dapat menimbulkan gejala yang sama dengan gejala penyakitnya, apabila diinokulasikan, dan (4) mikroorganisme penyebab penyakit harus dapat direisolasi dari gejala yang timbul hasil inokulasi. Maka dilakukan reisolasi atau perlakuan kembali seperti pada metode poin A, B dan C.

2. Daun awal yang terinfeksi virus, daun pada inokulasi sap pertama, daun pada inokulasi sap kedua dan kontrol dibandingkan.

Virus tumbuhan adalah virus yang menginfeksi tumbuhan. Umumnya memiliki asam nukleat berupa ssRNA. Namun, ada beberapa virus tumbuhan yang memiliki genom dsDNA, ssDNA, dan dsRNA. Sifat khas infeksi virus tumbuhan adalah tidak adanya alat penetrasi sehingga apabila virus tumbuhan akan menginfeksi inangnya harus melalui mekanis atau dengan perlukaan (Akin, 2006).

Postulat Koch adalah metode yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya virus yang menginfeksi suatu tumbuhan. Postulat Koch berkembang pada abad ke-19 sebagai panduan umum untuk mengidentifikasi patogen yang dapat diisolasikan dengan teknik tertentu. Walaupun dalam masa Koch, dikenal beberapa penyebab infektif yang memang bertanggung jawab pada suatu penyakit dan tidak memenuhi semua postulatnya. Usaha untuk menjalankan postulat Koch semakin kuat saat mendiagnosis penyakit yang disebabkan virus pada akhir abad ke-19. Masa itu virus belum dapat dilihat atau diisolasi dalam kultur. Hal ini merintangi perkembangan awal dari virologi (Gibbs, 1980).

Tahun 1880, Koch memanfaatkan kemajuan metoda laboratorium dan menentukan kriteria yang diperlukan untuk membuktikan bahwa mikroba spesifik merupakan penyebab penyakit tertentu. Kriteria ini dikenal dengan postulat Koch

yaitu:

1. Mikroorganisme tertentu selalu ditemukan berasosiasi dengan penyakit yang ditimbulkan.

2. Mikroorganisme dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni di laboratorium.

3. Biakan murni tersebut bila diinjeksikan pada tanaman yang sesuai dapat menimbulkan penyakit.

4. Mikroorganisme tersebut dapat diisolasi kembali dari tanaman yang telah terinfeksi tersebut.

Adanya kriteria tersebut menjadi jalan ditemukannya berbagai bakteri penyebab berbagai penyakit dalam waktu yang cukup singkat (kurang dari 30 tahun). Penemuan virus, adanya bakteri yang dapat menimbulkan berbagai penyakit serta adanya penyakit tertentu yang ditimbulkan oleh lebih dari 1 mikroorganisme memerlukan modifikasi dari postulat Koch (Kock, 1884).

Virus mengalami perubahan bentuk ketika berada dalam sel tanaman inang sesuai dengan tahap replikasi virus. Morfologi virus yang lengkap dapat diamati pada partikel virus atau dikenal dengan istilah virion. Bentuk virus ada yang tak-isometri berbentuk tongkat dan virus isometric berbentuk isosahedron (Akin, 2006).

Mekanisme pengifeksian virus ke tanaman yaitu partikel virus masuk ke dalam tanaman melalui luka pada permukaan tanaman dengan perantaraan tepung sari dan sebagainya, maka akan terjadi kontak antara virus dengan sitoplasma sel tanaman. Sesudah terjadi inokulasi, RNA yang merupakan bagian virus yang infektif keluar dari selubung protein. Usaha tersebut dilakukan dengan perantaraan sel tanaman karena virus tidak mempunyai energi untuk keperluan tersebut. Semua aktivitas biologis tergantung dari tanaman yang diserangnya. Keadaan ini merupakan perbedaan utama dalam hubungan tanaman inang dengan parasit untuk penyakit virus dan penyakit yang disebabkan oleh patogen lainnya. Protein yang ditinggalkan kemungkinan tertinggal dalam sel tanaman dan selanjutnya menjadi bagian protein sel tanaman inang. RNA yang keluar tersebut merangsang tanaman inang untuk membentuk enzim yang disebut RNA-polymerases, RNA-synthetases atau RNA-replicates. Enzim tersebut membentuk RNA baru dan RNA baru selanjutnya merangsang sel tanaman inang untuk mensintesa molekul protein yang spesifik untuk dijadikan selubung RNA (Akin, 2006).

Pengaruh infeksi virus terhadap sintesis makromolekul diamati pada penurunan sintesis asam nukleat, protein, dan karbohidrat. Sementara itu infeksi virus terhadap fotosintesis tanaman inang diamati pada pengaruh infeksi virus terhadap berkurangnya laju fotosintesis tanaman inang. Gejala penyakit virus pada tanaman dibagi menjadi dua yaitu gejala eksternal dan gejala internal (Akin, 2006).

Gejala eksternal berupa gejala lokal dan gejala sistemik. Gejala lokal merupakan gejala yang hanya terbatas pada situs infeksi primer dan dalam virologi dikenal dengan istilah bercak lokal. Bercak lokal dapat berupa klorosis karena hilang atau berkurangnya klorofil atau nekrosis karena terjadi kematian sel tanaman inang. Contohnya pada daun Chenopodium amaranticolor yang terinfeksi PStV. Gejala sistemik terjadi apabila virus yang diinokulasi pada tanaman inang tidak hanya terbatas pada situs infeksi primer, tetapi menyebar ke bagian lain dan menyebabkan terjadinya infeksi sekunder. Gejala infeksi ini secara umum disebut gejala sistemik. Tanaman dikatakan bantut apabila ukuran tanaman yang terinfeksi lebih kecil bila dibandingkan dengan tanaman normal. Contohnya pada tanaman kedelai yang terserang CPMMV (cowpea mild mottle virus). Mosaik menunjukkan adanya warna yang berbeda secara tidak teratur, seperti warna hijau tua yang diselingi dengan hijau muda. Gejala mosaic biasanya didahului oleh pemucatan sepanjang tulang daun (vein clearing) atau akumulasi warna hijau sepanjang tulang daun (vein banding). Contoh pada tanaman tembakau yang terkena TMV. Bercak cincin pada bagian tanaman yang terinfeksi dilingkari garis berbentuk cincin. Selain berupa klorosis atau nekrosis, kadang-kadang gejala tersebut dapat berupa lingkaran terpusat. Contoh pada tanaman paprika yang terkena CMV. Layu (Wilting) akibat nekrosis pada pembuluh tanaman. Contoh tomat yang terinfeksi TSWV. Malabentuk daun akan menimbulkan perubahan sitologi sel tanaman, seperti bentuk dan ukuran kloroplas, penggumpalan kloroplas, berkurangnya jumlah klorofil total daun, serta terjadinya penumpukan karbohidrat pada daun. Contoh pada kedelai yang terinfeksi SMV (Akin, 1998).

Tanaman kacang panjang sangat berpotensial untuk dikembangkan sebagai usaha tani, karena selain mudah dibudidayakan, pangsa pasarnya juga cukup tinggi. Salah satu kendala dalam usaha dalam meningkatkan produksi kacang panjang adalah gangguan penyakit tanaman. Beberapa penyakit diantaranya layu (Fusarium sp.), antraknosa (Colletotrichum sp.), nematoda puru akar (Meloidogyne sp.), dan penyakit mosaik. Penyakit mosaik pada kacang panjang dapat ditularkan melalui vektor yaitu Aphis craccivora, vektor ini banyak ditemukan pada tangkai bunga tanaman kacang-kacangan. A. craccivora dapat menularkan lebih dari 30 virus tanaman secara non persisten. Oleh karena itu, peranan A. craccivora dalam menularkan virus di lapang sangat penting, apalagi kutudaun (A. Craccivora) ada sepanjang tahun. Selain itu, penyakit mosaic dapat ditularkan melalui benih, dan secara mekanis. Penyakit mosaik merupakan penyakit tanaman kacang panjang yang banyak dijumpai dan merupakan salah satu penyakit penting yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas kacang panjang. Beberapa penyakit mosaik diantaranya Bean Common Mosaic Virus (BCMV), Bean Yellow Mosaic Virus (BYMV), Cowpea Aphid Borne Mosaic Virus (CABMV), ketiga virus ini termasuk ke dalam genus potyvirus (Suryadi, 2007).

Postulat Koch pada inokulasi pertama mengalami kegagalan diakibatkan tanaman layu sebelum terlihat gejala-gejala yang diakibatkan oleh virus dan pada inokulasi kedua ada tanaman yang berhasil dan ada yang gagal hal ini dikarenakan dimungkinkan kekurangan konsentrasi virus yang akan menginfeksi tanaman inang. Meurut Akin (2006), konsentrasi virus untuk dapat menginfeksi tanaman harus sebanyak (105 virion) dan faktor lainnya adalah umur tanaman semakin tua tanaman tersebut maka akan semakin terbatas penyebaran virus dalam tanaman, genotip tanaman, dan lingkungan (Akin, 2006).


Inokulasi Virus pada Telur Ayam Berembrio

Virus adalah penyebab infeksi terkecil berdiameter 20-300 nm. Genom virus hanya mengandung satu macam asam nukleat yaitu RNA/DNA. Asam nukleat virus terbungkus dalam suatu kulit protein yang dapat dikelilingi oleh selaput yang mengandung lemak. Seluruh unit infektif disebut virion. Virus hanya bereplikasi dalam sel hidup. Replikasinya dapat intranuklear atau intrasitoplasmik (Jawetz, 1996). Diluar sel hidup partikel virus tidak dapat melakukan metabolisme, itu merupakan masa transisi dari virus. Fase transmisi diluar sel ini diselingi oleh fase reproduksi dalam sel, ketika itu virus terdiri atas gen virus aktif yang dengan menggunakan metabolisme inangnya menghasilkan genom turunan dan protein virus untuk dirakit menjadi virion baru (Fenner, 1993).

Telur ayam berembrio telah lama merupakan sistem yang telah digunakan secara luas untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur bersama dengan cangkan telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi sebagai organ respirasi embrio (Purchase, 1989).

Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan allantoic. Embrio secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk perkembangan embrio (Purchase, 1989). Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan berhasilnya isolasi virus (Purchase, 1989).

Newcastle Disease atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100% (Alexander, 1991).

Penyakit ini disebabkan oleh virus Paramixovirus dan memiliki kemiripan gejala dengan penyakit Avian Influenza dalam memicu pendarahan di bawah kulit dengan indikasi jengger dan kaki ayam berwarna kebiruan. Kemiripan gejala ini bisa dibedakan dengan cara melakukan bedah bangkai dan pemeriksaan laboratorium oleh ahli patologi. Gejala klinis pada penyakit terbagi menjadi tiga bentuk: Mildly Pathogenic (lentogenic), Moderately Pathogenic (mesogenic), dan Higly Pathogenic (velogenic). Velogenic gejala klinis yang tampak adalah adanya gangguan pernapasan, diare dengan feses hijau, dan kepala berputar (torticolis) (Haryanto 2006).

Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negatif, panjangnya 15-16 kb dan mempuyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm. Genom virus Newcastle Disease membawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protein L, Protein H (hemaglutinin), protein N (neuraminidase), protein F (fusi), protein NP (nukleokapsid), protein P (Fosfoprotein), dan protein M (matik). Masa inkubasi penyakit ini bervariasi: antara 2-15 hari tergantung dari virus yang menginfeksi, umur dan status kekebalan ayam, infeksi dengan mikroorganisme lain, kondisi lingkungan, dan jalur penularan. Kejadian infeksi oleh virus Newcastle Disease (ND) terutama terjadi secara inhalasi (Admin, 2008).

Tujuan praktikum inokulasi virus pada telur ayam berembrio adalah memberikan pemahaman tentang macam-macam inokulasi virus, mengetahui bagaimana cara menginokulasi virus pada telur ayam berembrio, dan mengetahui ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus Newcastle Disease (ND).

1. Menggunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari.

2. Peneropongan dilakukan pada telur yang digunkan.

3. Batas kantung udara dan letak kepala embrio ditentukan lalu diberi tanda.

4. Alkohol 70% dioleskan lalu suspensi virus diinokulasikan ke dalam ruang alantois (melewati batas kantung udara) dengan cara jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45o dan diinjeksikan 0,1-0,2 cc virus yang akan diinokulasikan.

5. Lubang ditutup kembali dengan lilin.

6. Lalu diinkubasi dengan suhu 38o-39oC selama 2-4 hari.

7. Hari ke-4 diamati embrio tersebut dan dibandingkan dengan telur yang tidak diinokulasikan virus.

Newcastle Disease virus merupakan anggota pertama dari genus Paramyxovirus (PMV) yang diisolasi dari unggas pada tahun 1926. Virus yang tergolong genus Paramyxovirus dapat dibedakan dari virus lainnya oleh karena adanya aktifitas neuraminidase yang tidak dimiliki oleh virus lain pada famili Paramyxoviridae. Virus ND mempunyai aktifitas biologik yaitu kemampuan untuk mengaglutinasi dan menghemolisis sel darah merah atau fusi dengan sel-sel tertentu, mempunyai kemampuan neuraminidase dan kemampuan untuk bereplikasi di dalam sel-sel tertentu (Fenner,1993).

Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Pertama kali yang harus dilakukan adalah telur berembrio yang berumur 9–11 hari diteliti dengan lampu teropong di kamar gelap untuk mengetahui apakah embrio tersebut masih hidup atau sudah mati, indikasi bahwa embrio tersebut masih hidup adalah adanya gerakan embrio di dalam telur (embrio akan menjauhi sinar), dan adanya pembuluh darah. Digunakan TAB umur 9–11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang sehingga daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih mudah dan mengurangi resiko.

Kemudian bagian atas dan rongga hawa embrio diberi tanda pada kulit telurnya. Kedua tanda ini dilubangi setelah kulit telur didesinfeksi dengan menggunakan alkohol dan iodium untuk menjaga agar daerah sekitar lubang tetap aseptis. Kemudian inokulasi virus dilakukan dengan cara memasukkan suspensi virus ke dalam lubang yang berada di atas embrio dengan menggunakan spuit 1 cc. Penyuntikan dilakukan dengan sudut 450 ke arah bagian runcing telur agar tidak mengenai embrio. Injeksi dilakukan ke dalam cairan corioalantois untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor yang cocok dengan virus.

Penambahan bahan ke dalam telur akan meningkatkan tekanan di dalam telur yang dapat mempengaruhi pertumbuhan embrio dan virus, oleh karena itu dibuatlah lubang pada kulit telur di atas rongga hawa untuk membuat jalan keluar sedikit udara sehingga tekanan dalam telur tetap konstan saat diinokulasi. Kemudian kedua lubang ditutup dengan menggunakan parafin solidum atau lilin untuk mengembalikan kondisi dalam telur yang steril, terhindar dari kontaminasi lingkungan luar. Inokulasi ini dilakukan di dalam safety cabinet bertujuan untuk mengurangi kontaminasi. Telur yang telah diinokulasi kemudian dieramkan pada suhu 370C selama 2–3 hari untuk kemudian diamati pertumbuhan embrio, perubahan yang terjadi, dan dilakukan panen virus.

Ayam yang pernah terinfeksi Newcastle Disease (ND) dan tidak mengalami kematian akan memiliki kekebalan selama 6-12 bulan terhadap ND. Demikian juga dengan kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi. Sifat spesifik virus ND antara lain mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus ND juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia. Virus Newcastle Disease bila dipanaskan pada suhu 56oC akan kehilangan kemampuan untuk mengaglutinasi eritrosit ayam, karena protein hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus (Alexander, 1991).

Gejala Klinis Penyakit Newcastle Disease beragam dalam hal keganasan klinis dan kemampuan menyebarnya. Sejumlah wabah khususnya pada ayam dewasa, gejala klinis mungkin ringan. Gejala ringan ini tidak diikuti gangguan syaraf. Virus yang menyebabkan bentuk penyakit ini disebut lentogenik. Wabah lain, penyakit ini dapat mempunyai angka mortalitas sampai 25%, seringkali lebih tinggi pada unggas muda; virus yang demikian ini disebut mesogenik. Tipe mesogenik menimbulkan gangguan pernapasan antara lain sesak nafas, megap-megap, batuk dan bersin serta penurunan produksi telur dan penurunan daya tetas. Wabah lainnya lagi terdapat angka kematian yang sangant tinggi kadang-kadang mencapai 100% yang disebabkan oleh virus velogenik. Infeksi velogenik menyebabkan ayam kehilangan nafsu makan, diare kehijauan, lesu, sesak nafas, megap-megap ngorok dan bersin. Ayam juga bias mengalami kelumpuhan pada sebagian atau total. Kemampuan menyibak virus F merupakanan faktor utama yang mempengaruhi virulensi.hemoragi pada Intestinum Gejala klinis ND dibedakan menjadi 5 patotipe :

1. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lesi menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap.

2. Bentuk Beach atau velogenic neitropic Newcastle disease (VVND) bersifat akut, menimbulkan gejala pernafasan dan syaraf, dan menimbulkan kematian ayam segala umur dengan angka mortalitas 50 % pada ayam dewasa dan 90 % pada ayam muda.

3. Bentuk Baudette, kurang ganas dibandingkan bentuk Beach menyebabkan kematian pada ayam muda, bentuk ini disebabkan oleh virus galur mesogenik. Pada ayam dewasa ditandai dengan penurunan produksi telur biasanya terjadi 1-3 minggu.

4. Bentuk Hitchner disebabkan oleh virus ND galur lentogenik, gejala klinisnya bersifat ringan atau tidak tampak jelas, tidak menimbulkan kematian pada ayam dewasa dan biasanya dipakai sebagai vaksin.

5. Bentuk enteric asimptomatik merupakan bentuk yang tidak menunjukkan gejala klinis dan gambaran patologis, tetapi ditandai dengan infeksi usus oleh virus-virus galur lentogenik yang tidak menyebabkan penyakit (Alexander, 1991).

Newcastle disease adalah penyakit yang tersifat kompleks sehingga isolat strain virus berbeda dapat menimbulkan variasi yang besar dalam derivat keparahan dari penyakit, termasuk pada spesies unggas yang sama. Patogenesis Ayam yang terinfeksi mempunyai peranan penting dalam penyebaran penyakit dan sebagai sumber infeksi. Mulanya virus bereplikasi pada epitel mukosa dari saluran pernafasan bagian atas dan saluran pencernaan; segera setelah infeksi virus menyebar lewat aliran darah ke ginjal dan sumsum tulang yang menyebabkan viremia skunder, ini menyebabkan infeksi pada organ seperti paru-paru, usus, dan system syaraf pusat. Kesulitan bernafas dan sesak nafas timbul akibat penyumbatan pada paru-paru dan kerusakan pada pusat pernafasan di otak (Alexander, 1991).

Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu : rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar. Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain (Purchase, 1989).

Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu :

1. In Ovo

Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:

Ø Inokulasi pada ruang chorioalantois

Biasanya digunakan embrio ayam dengan umur 10-12 hari. Jarum dimasukkan ¾ inci dengan sudut 45º dan diinjeksikan 0,1-0,2 ml virus yang akan diinokulasikan. Setelah 40-48 jam cairan telur yang sudah diinkubasi dapat diuji untuk hemaglutinasi dengan membuat lubang kecil pada kerabang di pinggir dari rongga udara. Dengan alat semprot yang steril dan jarumnya, diambil 0,1-0,2 ml cairannya. Campur 0,5 cairan telur dengan perbandingan yang sama dari 10% suspensi dari sel darah yang di cuci bersih dalam plate. Putar plate dan lihat aglutinasi setelah 1 menit. Cairan alantois yang terinfeksi dipanen setelah 1-4 hari inokulasi. Untuk mencegah darah dalam cairan, embrio disimpan semalam dalam suhu 4ºC kemudian injeksi kerabang dekat rongga udara dan buka kerabang tersebut dengan pinset steril. Membran ditekan ke atas yolk sac dan cairan diambil dengan spuit dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Kultur cairan tersebut untuk menghindari cairan terkontaminasi bakteri (Stephen,1980). Contoh virus yang diinokulasikan pada ruang chorioalantois ini antara lain, virus ND dan virus influenza.

Ø Inokulasi pada membran chorioalantois

Inokulasi pada embrio umur 10-11 hari adalah yang paling cocok. Telur diletakkan horizontal di atas tempat telur. Desinfektan kerabang disekitar ruang udara dan daerah lain di atas embrio telur. Buat lubang pada daerah tersebut dan diperdalam lagi hingga mencari membran kerabang. Virus diinokulasikan pada membran korioalantois dan lubang ditutup dengan lilin dan diinkubasi. Setelah 3-6 hari korioalantois membran yang terinfeksi dapat di panen dengan mengeluarkan yolk sac dan embrio secara hati-hati tanpa membuat membran lepas dari kerabang. Area inokulasi dapat di lihat dengan adanya lesi pada CAM sebelum dilepas dari kerabang (Stephen, 1980).

Ø Inokulasi pada yolk sac

Inokulasi dilakukan pada embrio umur 5-7 hari. Post inokulasi diinkubasi selama 3-10 hari. Virus diinokulasikan pada bagian yolk sack dan dijaga jangan sampai terkontaminasi bakteri (Stephen, 1980). Virus yang biasa diinokulasikan di bagian ini adalah virus rabies.

2. In Vitro

Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur jaringan. Kultur jaringan virus dimulai dengan kultivasi embrio anak ayam cincang didalam serum atau larutan-larutan garam. Ini menuntun ke arah penggunaan kultur jaringan murni sel-sel hewan yang dapat ditumbuhi virus. Kini sel hewan dapat ditumbuhkan dengan cara yang serupa seperti yang digunakan untuk sel bakteri. Bila sel-sel hewan dikulturkan di wadah-wadah plastik atau kaca, maka sel-sel tersebut akan melekatkan dirinya pada permukan wadah itu dan terus-menerus membelah diri sampai seluruh daerah permukaan yang tertutupi medium terisi. Terbentuklah suatu lapisan tunggal sel dan dipergunakan untuk mengembangkan virus. Sel-sel jaringan yang berbeda-beda lebih efektif untuk kultivasi beberapa virus ketimbang yang lain. Pendekatan ini telah memungkinkan kultivasi banyak virus sebagai biakan murni dalam jumlah besar untuk penelitian dan untuk produksi vaksin secara komersial. Juga luas penggunaannya untuk isolasi dan perbanyakan virus dari bahan klinis. Vaksin yang disiapkan dari kultur jaringan mempunyai keuntungan dibandingkan dengan yang disiapkan dari telur ayam berembrio dalam hal mengurangi kemungkinan seorang pasien untuk mengembangkan hipersensitivitas atau alergi terhadap albumin telur (Merchant and Packer, 1956).

3. In Vivo

Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dalam menanam virus. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan virus yang dapat menimbulkan lesi yang hampir mirip misalnya FMDP atau Vesikular Stomatitis pada sapi. Hewan laboratorium yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut (Merchant and Packer, 1956).

Plaque Virus

Virus adalah satu set dari satu atau lebih molekul genom berupa asam nukleat (RNA atau DNA), yang biasanya dibungkus oleh selubung pengaman berupa protein selubung atau lipoprotein dan hanya dapat memperbanyak diri dalam sel inang yang sesuai dengan memanfaatkan metabolisme, materi, dan energi dari sel inang. Virus merupakan unit elemen yang masih menunjukkan tanda kehidupan, sehingga virus dapat juga didefinikan sebagai organisme tak sel yang mempunyai genom yang hanya dapat bereplikasi dalam sel inang dengan menggunakan perangkat metabolisme sel inang untuk membentuk seluruh komponen virus (Akin, 2006).

Setiap siklus replikasi menghasilkan asam nukleat dan mantel protein virus dalam jumlah yang banvak. Mantel protein virus bergabung bersama-sama membentuk kapsid yang berfungsi membungkus dan menjaga stabilitas asam nukleat virus terhadap lingkungan ekstraseluler. Selain itu juga berfungsi untuk mempermudah penempelan serta penetrasi virus terhadap sel baru yang dapat dimasukinya. Infeksi virus terhadap sel inang yang dimasukinya dapat berefek ringan atau bahkan tidak berefek sama sekali namun mungkin juga bisa membuat sel inang rusak atau bahkan mati (filzahazny, 2008).

Adapun sifat-sifat khusus virus menurut Lwoff, Home dan Tournier (1966) adalah bahan genetik virus terdiri dari asam ribonukleat (RNA) atau asam deoksiribonukleat (DNA), akan tetapi tidak terdiri dari kedua jenis asam nukleat sekaligus. Struktur virus secara relatif sangat sederhana, yaitu terdiri dari pembungkus yang mengelilingi atau melindungi asam nukleat. Virus mengadakan reproduksi hanya dalam sel hidup, yaitu di dalam nukleus, sitoplasma atau di dalam keduanya dan tidak mengadakan kegiatan metabolisme jika berada di luar sel hidup. Virus tidak membelah diri dengan cara pembelahan biner. Partikel virus baru dibentuk dengan suatu proses biosintesis majemuk yang dimulai dengan pemecahan suatu partikel virus infektif menjadi lapisan protein pelindunng dan komponen asam nukleat infektif. Asam nukleat partikel virus yang menginfeksi sel mengambil alih kekuasaan dan pengawasan sistem enzim hospesnya, sehingga selaras dengan proses sintesis asam nukleat dan protein virus. Virus yang menginfeksi sel mempergunakan ribosom sel hospes untuk keperluan metabolismenya. Komponen-komponen utama virus dibentuk secara terpisah dan baru digabung di dalam sel hospes tidak lama sebelum dibebaskan. Selama berlangsungnya proses pembebasan,beberapa partikel virus mendapat selubung luar yang mengandung lipid protein dan bahan-bahan lain yang sebagian berasal dari sel hospes. Partikel virus lengkap disebut virion dan terdiri dari inti asam nukleat yang dikelilingi lapisan protein yang bersifat antigenik yang disebut kapsid dengan atau tanpa selubung di luar kapsid.

Pendeteksian adanya virus dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya langsung, PCR, pelacak DNA dan metode Plaque. Plaque sering digunakan karena lebih mudah dan sederhana yaitu dengan melihat zona jernih dari biakan bakteri yang ditumbuhkan. Zona jernih tersebut diakibatkan lisisnya bakteri akibat virus (Anonim, 2008).

Virus dapat menyerang hewan, manusia, tumbuhan dan bakteri. Virus pada tumbuhan tidak memiliki alat penetrasi untuk menembus dinding sel tumbuhan, sedangkan pada virus hewan, manusia dan bakteri dapat melakukan penetrasi secara langsung melalui selaput sel. Adapun contoh penyakit yang diakibatkan oleh virus yaitu cow pox (cacar sapi), Foot and Mouth desease pada sapi, Newcastle desease pada ayam, herpes simplex, HIV dan influenza pada manusia, bakteriofag pada bakteri. Ada dua macam cara virus menginfeksi sel hospes, yaitu secara litik dan secara lisogenik.

Tujuan praktikum pengamatan virus pada bakteri dengan metode plaque adalah untuk mengetahui ada tidaknya virus dalam sampel yang melisiskan sel bakteri. Terlihat dari zona jernih atau adanya plaque yang terbentuk di dalam media NA yang telah diinokulasi sampel dari bakteri E.coli.

1.      Sampel dari limbah cair ternak yang diduga mengandung virus dimasukkan ke dalam botol sampel steril.

2.      Media pertumbuhan NA disiapkan.

3.      Sampel diambil sebanyak 0,1 ml dengan menggunakan pipet ukur secara aseptis dan di tuang ke dalam media NA.

4.      Sampel cair yang dituang pada media diratakan dengan menggunakan durgalsky.

5.      Cawan ditutup dengan wrap cling setelah itu diinkubasi 2x24 jam di inkubator.

6.      Plaque yang terbentuk diamati.

Salah satu prosedur yang penting dalam virologi adalah mengukur konsentrasi virus dalam sampel. Pendekatan yang banyak digunakan untuk menentukan jumlah seberapa banyak virus yang menginfeksi adalah dengan tes plak atau metode Plaque. Teknik ini pertama kali dikembangkan untuk menghitung banyaknya bakteriofage. Renato Dulbecco mengembangkan metode ini pada tahun 1952 untuk digunakan dalam virologi hewan. Teknik ini melihatkan penyebaran virus progeni yang ditandai dengan zona lingkar sel (Dulbecco, 1953).

Uji plak dilakukan dengan mengamati plak dalam sampel bakteri E.coli yang ditumbuhkan pada media NA. Sampel dimasukkan ke dalam Na sebanyak 0,1 ml tanpa melalui pengenceran dimaksudkan agar bakteri tetap dalam jumlah yang banyak sehingga kemungkinan besar didapatnya plak yang diakibatkan oleh virus. Hasil praktikum menunjukkan adanya zona jernih atau plak yang diakibatkan oleh lisisnya sel bakteri akibat infeksi virus. Siklus hidup virus ada 2 cara yaitu lisis dan lisogenik (Anonim, 2008).

Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan mengendalikan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Istilah virus biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal), sementara istilah bakteriofage atau fage digunakan untuk jenis yang menyerang jenis-jenis sel prokariota (bakteri dan organisme lain yang tidak berinti sel). Biasanya virus mengandung sejumlah kecil asam nukleat (DNA atau RNA, tetapi tidak kombinasi keduanya) yang diselubungi semacam bahan pelindung yang terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau kombinasi ketiganya. Genom virus menyandi baik protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik maupun protein yang dibutuhkan dalam daur hidupnya. Virus sering diperdebatkan statusnya sebagai makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan fungsi biologisnya secara bebas. Karena karakteristik khasnya ini virus selalu terasosiasi dengan penyakit tertentu, baik pada manusia (misalnya virus influensa dan HIV), hewan (misalnya virus flu burung), atau tanaman (misalnya virus mosaik tembakau/TMV) (filzahazny, 2008).

 

Lisis diawali dengan proses melekatnya virion pada permukaan sel inang yang diperantarai oleh interaksi spesifik antara virus dengan reseptor (protein,polisakarida,lipoprotein,glikoprotein) kemudian masuknya genom virus ke dalam sel inang. Virus memasukkan materi genetik (DNA) ke dalam sel. Pelepasan selubung berlangsung melalui serabut  ekor faga yang berkontraksi sehingga terjadi cengkeraman pada bagian spike pada membran sel bakteri selaput ekor berkontraksi dan DNA virus masuk melalui pori-pori pada ujung ekor. Ekor melepaskan lysozim dan capsid ditinggal diluar, setelah masuk protein virus dibentuk dengan menggunakan energy dari sel inang dan mengalami pendewasaan DNA fagadirakit menjadi Virion. virion dibebaskan dari sel, faga memerintahkan untuk memproduksi lisozim yang mencerna dinding sel bakteri, plasma membran pecah dan sel lisis.

Lisogeni diawali dengan Ekor virus melekat pada spesifik reseptor pada permukaan sel dan menginjeksikan DNA ke dalam sel, Phage DNA berintegrasi dengan kromosom bakteri dan membentuk prophage. Prophage tetap bersifat latent. Prophage DNA dilepaskan berhubungan dengan stimulus seperti Uv radiasi, senyawa kimia lain dan akan masuk ke siklus litik.

Virus yang melisiskan sel bakteri adalah bakteriofage. Bakteriofage berasal dari kata bacteria dan phagus (bahasa Yunani). Dari asal kata tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bakteriofage merupakan virus yang menyerang bakteri. Bakteriofage termasuk ke dalam ordo Caudovirales. Salah satu contoh bakteriofage adalah T4 virus yang menyerang bakteri Eschericia coli. E. coli merupakan bakteri yang hidup pada saluran pencernaan (Wikipedia).

Macam-macam virus pada manusia salah satunya retrovirus (HIV) yang secara khusus menyerang sel darah putih (sel T). Retrovirus adalah virus ARN hewan yang mempunyai tahap ADN. Virus tersebut mempunyai suatu enzim, yaitu enzim transkriptase balik yang mengubah rantai tunggal ARN (sebagai cetakan) menjadi rantai ganda kopian ADN (cADN). Selanjutnya, cADN bergabung dengan ADN inang mengikuti replikasi ADN inang. Saat ADN inang mengalami replikasi, secara langsung ADN virus ikut mengalami replikasi. Virus Herpes Virus herpes merupakan virus ADN dengan rantai ganda yang kemudian disalin menjadi mARN. Virus Infuenza Siklus replikasi virus influenza hampir same dengan siklus replikasi virus herpes. Hanya saja, pada virus influenza materi genetiknya berupa rantai tunggal ARN yang kemudian mengalami replikasi menjadi mARN. Paramyxovirus adalah semacam virus ARN yang selanjutnya mengalami replikasi menjadi mARN. Paramyxovirus merupakan penyebab penyakit campak dan gondongan (Anonim, 2008).

Penyakit tetelo, yakni jenis penyakit yang menyerang bangsa unggas, terutama ayam. Penyebabnya adalah new castle disease virus (NCDV). Penyakit kuku dan mulut, yakni jenis penyakit yang menyerang ternak sapi dan kerbau. Penyakit kanker pada ayam oleh rous sarcoma virus (RSV). Penyakit rabies, yakni jenis penyakit yang menyerang anjing, kucing, dan monyet. Penyebabnya adalah virus rabies (Anonim, 2008).